Diambil dari kolom ‘Bungklang Bungkling’, ‘Corah’, di harian Bali Post, Minggu, 5 September 2010, oleh I Wayan Juniartha Diterjemahkan oleh Putu Semiada.

Penjahat (Corah)
Biasanya para anggota sekaa tuak tidak berani keluar tengah malam. Maklumlah mereka hidup di desa, karena lewat tengah malam adalah waktunya bagi leak, desti, teluh, trangjana, ninja, CO, tokek dan kodok. Jika ada yang berani berkeliaran lewat tengah malam, bisa-bisa mereka dimakan leak.
Tetapi saat ini kebanyakan mereka tidak berani keluar siang.
“Jika kita disakiti leak, kita masih bisa pergi ke dukun (balian). Tetapi kalau leher kita digorok perampok, apa yang kita pakai obat nantinya?” tanya I Made Nyali Cenik.
Krama sekaa tuak manggut-manggut saja. Jika berpapasan dengan leak paling nantinya badan panas dingin dan mungkin sediki mencret. Tetapi jika berpapasan dengan penjahat, mulai dari dompet, cincin, bahkan nyawa bisa melayang.
“Ya betul, sering sekali sekarang terjadi kejahatan. Jantungku terus berdebar-debar saja, setiap kali mau keluar,” jawab I Nyoman Jerih Kabilbil.
Ada jambret, ada rampok yang cuma memakai celana dalam (mungkin karena saking miskinnya), penculik dan pemerkosa anak kecil, pemerkosa turis, pencuri pratima, penipu di ATM, penipu dengan cara hipnotis, pencuri mobil hingga perampok bank.
“Rasanya aku sampai trauma menonton tivi, gemetar jika membaca koran. Sebaiknya aku tinggal di rumah saja. Wajahku ganteng sekali. Jadi kalau aku sampai menjadi korban perampokan, tentu istri, selingkunganku serta mantan pacarku akan merasa nagat kehilangan,” I Nyoman menambahkan.
Semuanya manggut-manggut. Tetapi mereka setuju bukannya karena I Nyoman memang ganteng atau banyak yang akan merasa kehilangan kalau dia meninggal, tetapi mereka setuju perihal nonton tivi dan membaca koran.
“Memang banyak sekali jalan menuju kematian. Kalau tidak dibunuh perampok, bisa jadi kita ditabrak motor. Kita sudah hati-hati di jalan, yang lain yang mengendarai kendaraan sembarangan dapat menyebabkan kita kena celaka.
Mereka mengangguk-angguk semakin keras.
Jika dahulu kira berbicara seperti ini, pasti ada warga kita yang menyalahkan warga dari daerah lain yang melakukan; yang dari Jawa senang merampok, yang dari Lombok senang mencuri. Sekarang sudah banyak yang tahu, warga Bali sendiri banyak yang memiliki perilaku jahat. Sampai-sampai pretima pun dijual.
“Semestinya pada saat ini para ksatria dan pendekar Bali menunjukkan kedigjayaannya membela tanah kelahiran. Banyak sekali kita memiliki perguruan di Bali. Semestinya jumlah mereka lebih dari cukup untuk menghajar para penjahat dan perampok itu”, guman I Madé
Mereka semua diam. Barusan mereka membaca di koran bahwa para pendekar rame-rame menyerbu sekolah dan menghajar satpam yang sama sekali tidak tahu permasalahan padahal urusannya hanya meyangkut seseorang.
“Para pecalang sibuk menjadi tukang parkir, mengamankan arena sabungan ayam, mengawal konvoi rombongan layang-layang dan menutup jalan. Akibatnya mereka tidak sempat lagi mengurus kejahatan, karena sudah kehabisan tenaga.”
Disamping itu, kebanyakan para ksatria (kaum ningrat) sudah berubah menjadi wesia (kaum pedagang), sibuk menjual warisan dan broker proyek. Jika tidak menjadi wesia, mereka sibuk menjadi orang kaya sehingga tidak sempat peduli dengan rakyat kecil.
Banjar dan desa juga sibuk mengaku sebagai yang terbaik, saling membanggakan diri, dan saling bermusuhan menyangkut masalah-masalah yang sepele.
“Kalau begini kapan kita bisa menemukan Bali yang tentram dan damai?” tanya I Madé.
Tidak ada yang menjawab. Semua sudah tahu Ajeg Bali dan Bali Santi hanya omongan orang-orang Bali yang pintar, sudah kaya dan sudah menjabat dan mapan. Kelompok ini termasuk mereka yang sudah tidak perlu memikirkan lagi mau makan apa besok, tidak khawatir kalau-kalau mereka digilas truk maupun dihajar preman.
Memang benar-benar susah hidup menjadi rakyat kecil. Sudah miskin, ditambah lagi dengan ketersisihan. Pantas makin banyak saja rakyat kecil yang bunuh diri. Sepertinya bunuh diri adalah pilihan yang lebih baik dari pada hidup yang serba salah.”