Gresik United In Future, Good Suggestion for You

Diambil dari kolom ‘Bungklang Bungkling’, ‘Tunu Tani’, di harian Bali Post, Minggu, 19 September 2010, oleh I Wayan Juniartha Diterjemahkan oleh Putu Semiada.




Tunu Tani (Petani Malang)

Jika ingin menjadi petani di Bali, apa saja modal yang mesti dimiliki?

“Modal pertama yang harus dimiliki adalah tidak memiliki rasa malu,” kata I Made Pici-Pici Gengsi.

Maklumlah jaman sekarang kebanyakan orang Bali malu dibilang miskin. Mereka tidak akan merasa malu jika kemana-mana menyetir mobil, memakai dasi, dompet dipenuhi kartu kredit dan uang yang banyak. Tapi kalau ke sana kemari masih memakai baju lusuh, memakai topi bambu, membawa arit sambil naik sepeda gayung, pastui mereka malu.

Jadi jika menjadi orang Bali tidak boleh miskin, tidak boleh malu. Supaya tidak kelihatan miskin, orang Bali berani menghabiskan milyaran Rupiah untuk upacara (mekarya), meskipun itu uang panas pinjaman dari bank. Agar kelihatan miskin, sampai pratima (kelengkapan upacara) pun dijual dijadikan uang supaya bisa membeli dasi, HP dan kredit mobil.

“Jika menjadi petani sudah pasti akan menjadi orang yang miskin. Artinya harus berani menahan rasa malu. Kalau aku, aku tidak janji mengambil pekerjaan seperti itu.”

Mereka semua mengangguk-angguk. Anaknya I Wayan Dangap-Dangap ingin sekali masuk Fakultas Pertanian. Oleh karena itulah I Wayan ingin mendapatkan informasi dari teman-temannya apa saja persyaratannya agar anaknya menjadi petani yang sukses.

“Modal kedua adalah harus berani berhutang,” kata I Made lagi.

Harga pupuk tidak pernah turun, belum lagi harga bibit, pestisida. Memang harga beras terus naik, tetapi yang mendapat keuntungan bukannya petani. Jika harga beras naik, yang mendapat keuntungan adalah pedagang beras dan importir beras.

“Jika menjadi petani tidak langsung mendapat hasilnya. Setelah tiga bulan baru mendapatkan hasil. Makanya harus mempunyai uang untuk membeli bibit, pupuk dan pestisida. Belum lagi urusan perut. Jika tiga bulan mengurus sawah, menunggu panen, apakah perut tidak perlu diisi juga?”

Oleh karena itu kebanyakan petani menjadi ‘nasabah setia’ LPD, BPR dan rentenir. Mereka menanam padi, namun meminjam uang agar bisa membeli beras.

“Ya kalau bisa panen, kalau seperti sekarang keadaannya, musim yang tidak jelas, akibatnya padinya menjadi puso, panen gagal, hutangnya bertambah.

Supaya bisa membayar bunga hutang, mesti meminjam lagi ke sana kemari. Akibatnya, jelas mereka menjadi semakin miskin, hutang menjadi bertumpuk-tumpuk.

“Jika menjadi petani sama hal nya seperti melestarikan kemiskinan.”

Hancur rasanya perasaan I Wayan memikirkan anaknya yang akan menjadi manusia serba kekurangan, benar-benar miskin.

“Kenapa anakmu ingin menjadi petani. Kenapa tidak memilih menjadi anggota dewan saja, karena semua pengeluaran mereka dibayar, mulai dari tidur sampai kentutpun dibayar oleh negara. Atau kenapa tidak menjadi pegawai hotel saja, meskipun pekerjaannya hanya mengangkat koper tamu, tetapi bisa memakai dasi dan sepatu mengkilap.”

I Wayan tidak bisa berkata apa-apa. Sesak dadanya. Jika saja dia suka merokok pasti sudah terkena serangan jantung. Tetapi karena dia hanya suka tuak saja, maka hanya perutnya saja yang mules menahan stress.

“Modal yang paling penting jika ingin menjadi petani adalah hanya satu: harus mempunyai tanah. Kalau tidak, apa yang mau ditanam. “Apakah kamu bisa membuat benih di atas beton? Apakah kamu bisa menanam padi di lantai keramik?”

Sekarang semuanya merasa terkesima. Semua tanah di Bali sudah menjadi vila, hotel, jalan, mall, alfa mart, indomaret, circle-k, hingga halaman pura pun sekarang di paving, bahkan sungai pun sekarang ditembok.

Ya, sekalipun banyak orang ingin menjadi petani, tetapi jika tanah sudah habis, apa yang bisa dilakukan?