
Luh (Perempuan)
Ni Luh Makin Digosok Makin Sip merasa sangat senang hari ini. Karena itu, setiap orang dikasi jatah tuak satu gelas tuak manis.
“Wah, tumben kau baik hati. Ada apa gerangan? Jangan-jangan kamu sudah diterima menjadi pegwai negeri? I Made Ulah Aluh senyum-senyum.
Semua tahu tentang cita-cita Ni Luh. Dia ingin menjadi pegawai negeri. Tetapi nasibnya Ni Luh tidak terlalu mujur, ternyata mencari status CPNS lebih sudah dari mencari sorga. Jika mau mencari surga, dengan uang 50 juta sudah cukup, mulai dari upacara ngaben, mukur dan ngelinggihang dewa yang. Sedangkan untuk menjadi CPNS, minimal 75 juta. Apalagi Ni Luh memang tidak punya koneksi yang bisa membantunya.
“Wah aku sudah lupa dengan cita-citaku itu. Aku sangat senang karena untuk pertama kalinya lembaga adat membela kepentingan perempuan,” jawab Ni Luh sambil menunjukkan koran.
Koran itu berisi berita tentang musyawarah Mejelis Utama Desa Pekraman, tentang sanksi ‘kesepekang’ (dikucilkan) yang tidak memperkenankan melarang warga yang dikucilkan (kesepakang) untuk sembahyang di pura atau memanfaatkan kuburan. Sanksi tersebut juga mesti mempunyai batas waktu. Tidak boleh mengucilkan warga bersangkutan seumur hidup.
“Bagus sekali hasil musyawarah ini. Para dewa saja tidak pernah melarang orang ke pura, lalu kenapa ada warga yang berani-beraninya melarang umat untuk sembahyang. Apalagi ada juga yang melarang umat menggunakan kuburan. Ada rasa tidak percaya bercampur malu jika melihat mayat yang sampai berjam-jam terlantar di jalan menunggu krama yang sedang berunding,” kata I Made.
Musyawarah tiu juga mengakui hak waris anak perempuan.
‘Waduh, bahaya ini. Jika sampai anak perempuan mendapat hak waris, bisa-bisa habis tanah nanti untuk membeli bedak, pemerah bibir, kebaya brokat Perancis dan juga sandal/sepatu hak tinggi.”
Ni Luh langsung mendelik. Langsung saja dia mencabut jatah tuak gratis untuk I Made.
“Coba kamu pikir, Dé. Dari dulu hak waris hanya jatuh kepada anak laki saja. Coba lihat sekarang, apa saja yang sudah dikerjakan oleh laki-laki Bali untuk memelihara warisan leluhur,” sergah Ni Luh.
Jika anak laki-laki Bali mendapat warisan, pasti akan dijual, mulai dari tanah hingga mas-masan. Mungkin kalau pura keluarga masih bisa dijual, pasti akan dijualnya juga.
“Sedangkan peermpuan Bali hanya mendapat yang berat-beratnya saja. Mulai membuat sarana upacara, menjaga dan merawat mertua, mengurus anak hingga melayani suami lahir bathin. Dan tidak jarang pula hasil pekerjaan diambil sang suami untuk dipakai berjudi, dan malamnya mesti disuruh melayani. Jadi tenaga wanita Bali benar-benar sudah habis. Banyak sekali kewajiban, tapi tidak pernah mendapat hak.”
Karena lebih banyak kewajiban yang dibebankan kepada wanita Bali dari dari pada hak, maka hal ini sering membuat mereka stress. Badannya sering pegal-pegal, wajahnya kusut dan kulitnta tampak kotor. Disamping itu, laki-laki Bali bukannya meringankan beban mereka, misalnya dengan membelikan mereka kajang hijau maupun vitamin, malah mereka justru lari ke café-café di tepi sungai untuk bercumbu dengan cewek-cewek café yang kulitnya lebih bersih dari istrinya, yang bedaknya lebih tebal dari tembok.
Ni Luh tetap saja nyerocos. Sampai basah matanya kena ludahnya Ni Luh.
“Jika bapak/Ibu sakit siapa yang sibuk ngurus? Jika ada karya (upacara) di pura dadia (pura klan), siapa yang sibuk menanganinya? Anak laki apa anak perempuan?”
I Made tidak berani berkata apa-apa. Dia tampak gelisah. Memang benar laki-laki Bali kebanyakan tidak bisa diandalkan. Memang sudah seharusnya anak perempuan mendapat warisan lebih banyak dari pada anak laki-laki.
“Masalahnya di Bali kita berdasarkan garis Purusa (laki-laki),” kata I Made berusaha menghidar.
Saking emosinya, Ni Luh langsung saja melempari matanya I Made dengan kue.
“Jika tidak ada ‘Pradana’ (perempuan), apa yang bisa diperbuat oleh purusa? Jika tidak ada Saraswati, apa yang bisa diperbuat oleh (dewa) Brahma? Jika tidak ada Sri dan Laksmi bagaimana caranya (dewa) Wisnu mengurus alam semesta? Jika tidak ada Durga, siapa yang bisa membuat Siwa ditakuti?”
Jika wanita Bali sudah marah, siapa yang berani mencegah?