Gresik United In Future, Good Suggestion for You

Showing posts with label Upacara. Show all posts
Oleh: Maria Ekaristi & Agung Bawantara

Setelah disemayamkan hampir sebulan penuh, jenazah almarhumah Cokorda Istri Winten (95), akan diperabukan dalam upacara Pelebon pada Jumat, 2 Juli 2010. Upacara akan dilakukan di Setra Gede (kuburan), Desa Adat Mengwi. Upacara pelebon tersebut melibatkan warga 40 desa adat di wilayah Kecamatan Mengwi. Cokorda Istri adalah istri dari Raja Mengwi yang merupakan ibunda dari Anak Agung Gede Agung yang kini menjabat sebagai Bupati Badung. Cokorda Istri sendiri merupakan salah satu putri dari Raja Karangasem, Anak Agung Agung Nglurah Ktut Karangasem.

Jenazah Cokorda Istri saat ini disemayamkan di Bale Semanggen, salah satu bangunan di Puri Ageng Mengwi. Pada Jumat (11/6/2010) lalu, jenazah sudah dimandikan dalam upacara (nyiramang) yang dipimpin beberapa Pedanda (pendeta Hindu) dan diikuti oleh seluruh keluarga dan handai taulan Puri Ageng Mengwi dengan mengenakan busana serba putih.

Karena melibatkan ribuan pengiring dan akan dihadiri oleh sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu II dan sejumlah raja Nusantara, dipastikan jalur utama Denpasar- Singaraja akan macet berat pada hari Pelebon. Kerena itu, sejak pukul 11.00 hingga 13.00 arus lalu-lintas di jalur tersebut akan dialihkan. Kendaraan dari Denpasar menuju Singaraja, diarahkan melalui simpang Banjar Tengah Gulingan ke simpang Banjar Angkep Canging, lalu ke Baha dan lanjut ke jalur utama menuju Singaraja. Sebaliknya, kendaraan dari Singaraja menuju Denpasar, diarahkan melalui jalan Banjar Sayan - Baha – Jalan Angsoka - Penarungan - Lukluk - Denpasar.

Dari tempat persemayaman terakhirnya menuju tempat pembakaran (Pelebon) jenazah Cokorda Istri akan diusung dengan bade (menara usungan jenazah) bersusun sembilan. Sedangkan untuk memperabukannya, jenazah akan ditempatkan di sebuah tempat khusus berbentuk lembu putih.

Sebagai tambahan informasi, Pelebon adalah nama lain dari Ngaben. Kata Pelebon biasa digunakan untuk kaum bangsawan, sedangkan ngaben untuk kaum kebanyakan. Pelebon berasal dari kata “pelubuan” yang berarti menjadikan abu. Ngaben berasal dari kata “ngabuin” atau “ngabuang” yang juga berarti menjadikan abu.

On Labels: , | 0 Comment

Oleh: Heru Amri

Kabupaten Karangasem ternyata punya segudang tradisi unik yang masih lestari hingga saat sekarang. Selain Geret Pandan di Tenganan, Ter Teran di Jasi, masih ada tradisi unik lainnya yang cukup menarik untuk disaksikan. Di Desa Adat Asak, Kecamatan Karangasem, ada tradisi Meamian-amianan yang digelar dua tahun sekali pada Purnama Kedasa (ke-sepuluh).

Tahun ini, tradisi itu kembali digelar selama dua hari berturut-turut yakni tanggal 30- 31 maret 2010 lalu. Para warga terutama kaum lelaki berkumpul di Pura Desa Adat Asak sekitar pukul 16.00 WITA untuk bersiap mengarak jempana yaitu semacam joli yang digunakan untuk mengusung pretima (benda suci) milik desa.

Jempana tersebut kemudian digotong ke Beji Toya Ijeng yang berjarak sekitar satu kilometer dari Pura Desa. Beji adalah sumber mata air yang disucikan oleh masyarakat setempat. Di tempat itulah seluruh jempana disucikan.

Yang menarik dari prosesi ini adalah adanya aksi saling dorong-mendodong antara pengusung jempana satu dengan pengusung jempana lainnya. Hal ini berlangsung sekembalinya jempana-jempana tersebut dari beji sebelum distanakan di Bale Agung. Masyarakat setempat percaya bahwa ada kekuatan niskala (gaib) yang menggerakkan para pengusungnya untuk melakukan aksi dorong mendorong tersebut. Sumber kekuatan niskala itu terletak pada jempana yang mereka usung masing-masing. Tak jarang, kekuatan jempana-jempana tersebut menggerakkan pengusungnya untuk berlari kencang hingga berkilo-kilo meter jauhnya.

Tak diketahui secara pasti sejak kapan tradisi ini mulai berlangsung. Tokoh masyarakat Desa Adat Asak, I Nyoman Winata, pun menggelengkan kepalanya ketika ditanyai soal ini.

“Ini tradisi turun temurun yang telah dilakukan oleh leluhur kami,” ucapnya datar sembari menerangkan bahwa Meamian-amianan merupakan padanan kata dari beranjang sana dan bersuka cita. Karena itu masyarakat setempat memaknai upacara meamian-amianan ini sebagai saat beranjangsana dan bersukacitanya para dewa.

Sebelum meamian-amianan dilaksanakan, ada beberapa prosesi yang mengawali yakni melasti (25/3), tuhunan teruna atau pengukuhan pemuda secara adat (28/3), Meyaban dan Nyolahang Ida Betara (29/3) malam.

Foto: HK Amri

On Labels: , , | 0 Comment

Sabtu (15/8/2009), umat Hindu di Bali merayakan hari Tumpek Landep yakni hari khusus untuk melakukan ritual bagi segala jenis benda berbahan baku logam. Dalam bahasa Bali, kata landep berarti tajam. Kerena itu, secara turun temurun pada hari Tumpek Landep penganut Hindu di Bali, menghaturkan sesajian di atas berbagai jenis alat berbahan logam yang tajam seperti keris, pisau, cangkul, atau sabit. Belakangan, mereka juga menghaturkan sesaji di atas peralatan mesin, kendaraan bermotor, komputer dan televisi. Bahkan, para anggota TNI dan Polri juga menghaturkan sesaji pada pistol dan senapan mereka.

Pada hari itu, hampir semua mobil dan sepeda motor yang melintas di jalan-jalan digelayuti sesaji berupa ceniga, sampian gangtung, dan tamiang. Ketiganya adalah bagian dari sesaji, bentuknya menyerupai "hiasan" yang terbuat dari janur. Tidak hanya mobil dan motor biasa, bahkan jenis motor gede macam Harley Davidson pun di beri sesaji.

Secara sederhana, Tumpek Landep ini dapat dimaknai sebagai semacam hari "ulang tahun"dari benda-benda yang terbuat dari besi (khusunya yang tajam). Pada saat itulah sepatutnya para pengguna mengucapkan rasa syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena telah memberikan kemuliaan hidup melalui alat-alat tersebut. Ini adalah salah satu bentuk terapan ajaran "Tri Hita Karana", yang mengajarkan untuk selalu menjaga hubungan harmonis dengan Tuhan, dengan alam, dan sesama manusia.

Secara lebih mendalam, hari Tumpek Landep yang berulang setiap 210 hari tersebut merupakan hari penting untuk mensyukuri sekaligus memohon agar senjata kehidupan tetap landep (tajam). Yang dimaksudkan dengan "senjata kehidupan" adalah pikiran dan nurani. Pikiran dan nurani yang tajam manusia akan mampu menghadapi musuh-musuh dalam diri mereka sepereti kemiskinan, kebodohan, kemunafikan, dan sebagainya. (abe/jjb)

Foto-foto oleh: Adrian Suwanto dan Miftahhudin (Radar Bali)

On Labels: , , | 0 Comment

Tak kurang dari 112.670 ekor tikus diaben atau dikremasi menurut adat Bali, Jumat (17/7) lalu di Kabupaten Tabanan. Upacara pembakaran mayat tikus-tikus ini dilaksanakan layaknya upacara ngaben yang dilakukan terhadap jenazah manusia. Upacara yang disebut Prateka Merana itu lengkap dengan sesajen dan bade (usungan jenazah) yang megah.

Ngaben tikus ini adalah tata cara orang Bali untuk menyetop hama tikus yang menyerang lahan pertanian mereka. Seperti telah banyak diberitakan di media local, beberapa waktu lalu ratusan hektar lahan pertanian di kabupaten Tabanan diserang hama tikus. Ribuan binatang pengerat tersebut menggasak ludas padi-padi yang tengah di tanam menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi petani di wilayah yang dikenal sebagai lumbung padinya Bali itu. Untuk mengatasi hama tersebut, masyarakat setempat bahu-membahu berperang melawan sang penyerbu. Bersenjatakan tongkat kayu mereka turun ke areal persawahan membunuhi tikus-tikus itu. Maka melayanglah ratusan ribu nyawa tikus dalam operasi gabungan tersebut.

Selanjutnya, untuk membersihkan dan menyucikan areal persawahan yang telah berubah menjadi medan pertumpahan darah, tak kurang dari sepuluh ribu warga setempat membakar bangkai-bangkai tikus itu dengan upacara ngaben atau Mrateka Merana. Upacara ini diselenggarakan di depan Pura Puseh Bedha, Desa Bongan.

Oleh warga, bangkai ratusan ribu tikus yang oleh masyarakat Bali dijuluki Jro Ketut itu dimasukkan ke dalam lima bade. Di belakang setiap bade tersebut terpampang foto tikus sesuai dengan warnanya, yakni merah, putih, kuning, hitam dan belang (hitam-putih). Kelima bade tersebut diarak menuju Segara Yeh Gangga, Desa Sudimara, sekitar empat kilometer dari Desa Bongan. Arak-arakan tersebut diiringi tetabuhan baleganjur.

Setiba di Yeh Gangga, sebelum melakukan prosesi pembakaran bade, seluruh masyarakat melakukan persembahyangan terlebih dahulu. Setelah semua bade berisi ratusan ribu tikus itu ludas terlalap api, abu tikus dikumpulkan dan dihanyutkan ke laut sebagaimana yang dilakukan pada upacara pengabenan manusia.

Pelaksanaan upacara Mrateka Merana ini didasari oleh petunjuk-petunjuk yang tertulis pada Babad Arya Tabanan, Babad Dukuh Jumpungan, Lontar Sri Purana Tatwa, dan Lontar Darma Pemaculan. Semua kitab dan lontar tersebut memberi petunjuk tentang bagaimana mengendalikan hama tikus secara spiritual. Sebelum ini, upacara serupa diselenggarakan pada tahun 2002. (abe/jjb-radarbali)

Foto-foto repro : Yoyo Raharyo - Radar Bali.

On Labels: , , | 0 Comment

Belasan sapi dengan riasan yang anggun digiring memasuki "catwalk" dan memeragakan kecantikan dan ketampanannya untuk dinilai oleh dewan juri. Ini berlangsung dalam Sapi Beauty Contest di Desa Peguyangan, Denpasar, Sabtu (6/6/2009) lalu. Kontes ini dilakukan warga setempat untuk memeringati hari Tumpek Kandang.

Tumpek Kandang adalah sebuah hari suci umat Hindu di Bali yang ditujukan untuk menyelaraskan hubungan menusia dengan lingkungan khususnya hewan peliharaan. Upacara yang dilakukan pada hari ini merupakan ungkapan rasa syukur atas kemudahan hidup yang diberikan oleh Tuhan melalui hewan-hewan peliharaan, khususnya ternak potong. Dalam penanggalan Bali, hari suci ini jatuh pada Sabtu Kliwon Uye atau setiap 210 hari sekali (tujuh bulan kalender Masehi).

Di desa Peguyangan, tradisi kontes sapi dalam rangka hari Tumpek Kandang sudah berlangsung sejak tahun 1922 namun sempat menghilang selama puluhan tahun karena perubahan era dan situasi. Kini, tradisi tersebut dibangkitkan lagi sebagai ekspresi syukur terhadap lingkungan yang terjaga baik. Pemerintah Kota Denpasar, yang tengah mengumandangkan jargon “Go Green, Go Creative” mendukung sepenuhnya penyelenggaraan acara ini.

Banyak Tumpek
Selain Tumpek Kandang, umat Hindu di Bali juga merayakan beberapa hari Tumpek yang lain. Semua Tumpek itu merupakan ungkapan rasa syukur dan upaya menyelaraskan kehidupan manusia dengan lingkungannya. Tumpek Landep, merupakan upacara yang digelar untuk mensyukuri manfaat dari benda-benda tajam dan peralatan yang terbuat dari besi; Tumpek Wariga, ditujukan untuk mensyukuri manfaat tumbuh-tumbuhan; Tumpek Kuningan, untuk mensyukuri ketentraman dunia; dan Tumpek Wayang, untuk mensyukuri manfaat yang diberikan oleh peralataan kesenian seperti wayang, topeng, gamelan,dan lain sebagainya. (abe/jjb)

Foto: Adrian Suwanto/Radar Bali

On Labels: , | 0 Comment

Sebagai rangkaian upacara ‘peresmian’ Pura Manik Mas Besakih setelah dipugar beberapa bulan lalu, Senin 16 Februari 2009 dilangsungkan upacara Tawur, Pamelaspas dan Mendem Pedagingan. Upacara ini dipimpin oleh tiga orang Sulinggih (pendeta), yaitu Ida Pedanda Gede Putra Tembau (Pendata Siwa) dari Griya Aan, Klungkung; Ida Pedanda Gede Nyoman Jelantik Duaja (Pendeta Buda) dari Griya Jelantik Budakeling dan Ida Rsi Bhujangga Anom Palguna (Pendeta Bhujangga) dari Griya Tegal Cangkring, Jembrana.

Upacara ini dihadiri oleh seluruh Pemangku seluruh pura di kompleks Pura Agung Besakih, utusan Gubernur Bali, utusan Bupati dan Walikota di seluruh Bali, serta umat dari pemaksan Ulun Kulkul selaku pangempon (penyangga utama) Pura Manik Mas.

Sekitar pukul 09.30 Wita upacara ini dimulai dengan pemujaan upacara Tawur oleh tiga orang Sulinggih, dilanjutkan dengan Bhumi Sudha (panyucian areal pura) oleh Ida Pedanda Gede Nyoman Jelantik Duaja, dan dilanjutkan dengan pemujaan Melaspas atau peresmian secara spiritual bangunan-bangunan di areal pura itu.

Setelah Melaspas, dilanjutkan dengan Mendem Pedagingan, yakni pemendaman lima jenis logam (emas, perak, besi, perunggu, timah) di dasar masing-masing bangunan pura. Kelima logam itu disebut dengan panca datu yang merupakan simbolis dari kekuatan alam semesta. Pemendaman tersebut dilakukan oleh para pemangku disertai para utusan Gubernur Bali dan para utusanBupati dan Walikota se- Bali. Mereka adalah Guru Wisesa (pelaksana pemerintahan) yang bersama-sama umat lain berfungsi sebagai saksi. Dalam istilah Bali mereka disebut dengan manusa saksi.

Sebelum dipendam, sarana pedagingan itu diiring mengelilingi areal pura searah jarum jam sebanyak tiga putaran. Seluruh rangkaian upacara ini ditutup dengan persembahyangan bersama sekitar puku 12.30 Wita.

Sebagai pelengkap upacara, hari itu digelar kesenian topeng Pajegan, Wayang Lemah dan Gegitan. Dalam setiap upacara besar di Pura mana pun di Bali, ketiga jenis kesenian tersebut wajib diselenggarakan.


Sesajen yang dipersembahkan dalam upacara ini adalah sesajen yang telah dilengkapi dengan binatang kurban yang telah disucikan pada upacara Mapepada yang dilakukan hari Minggu, 15 Pebruari 2009.

On Labels: , | 0 Comment

Pura Manik Mas, salah satu pura di kompleks Pura Besakih, baru saja usai dipugar. Untuk menyucikan pura tersebut agar dapat digunakan sabagai sarana persembahyangan, pura tersebut ‘diresmikan’ kembali melalui upacara Pamelaspas, Mendem Pedagingan dan Ngenteg Linggih. Serangkaian dengan itu, hari Minggu (15/2/2009) lalu diselenggarakan upacara Mapepada Tawur yaitu upacara penyucian hewan-hewan yang akan digunakan sebagai kurban dalam upacara.

Upacara Mapepada Tawur ini dipimpin oleh Ida Pedanda Wayahan Tianyar dari Griya Menara, Sidemen – Karangasem diikuti oleh para Pemangku Pura Agung Besakih, umat dari Pemaksan Ulun Kulkul dan dari kabupaten Jembrana selaku pangempon (penyokong) pura ini.

Pada upacara Mapepada ini yang disucikan adalah kambing sebagai wewalungan (binatang persembahan) utama. Kambing tersebut disucikan, didoakan dan diiringkan melakukan purwa daksina (berkeliling tiga kali searah putaran jarum jam). Selanjutnya, pada kambing tersebut dilakukan prosesi malepas prani atau peleburan arwah dengan menusukkan secara simbolis tombak keramat ke tubuhnya.

Malam hari dilakukan tahap nyoroh bhakti atau menata sesajen yang akan dipersembahkan pada upacara tawur yang diselenggarakan pada hari Senin 16 Februari 2009. Pada sesaji inilah bagian-bagian tubuh (kepala, kaki dan kulit) binatang tersebut ditempatkan sebagai bagian penting dari sesajen. Keseluruhan sesajen ini disebut sebagai ritual winangun urip atau tatanan upakara agar roh binatang-binatang tersebut meningkat pada status hidup spiritual yang lebih tinggi dari sebelumnya, juga untuk menghilangkan sifat-sifat kebinatangan dalam diri manusia.

Seperti telah diberitakan sebelumnya, bahwa pada tanggal 25 Maret 2009 akan diselenggarakan upacara sepuluh tahunan Panca Bali Krama di Pura Besakih. Pura Manik Mas adalah satu di antara 18 pura yang tergabung dalam kompleks pura terbesar di Bali itu.

Baca juga:
Melasti Panca Bali Krama, Diperkirakan 1500 Orang


On Labels: , | 0 Comment

Hari Nyepi untuk membuka tahun baru Saka 1931 jatuh pada Kamis, 26 Maret 2009. Saat itu, seperti yang berlangsung pada tahun-tahun sebelumnya, masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu, akan melaksanakan empat brata penyepian: tidak menyalakan api (amati gni), tidak bekerja (amati karya), tidak bepergian (amati lelungan), dan tidak mengadakan hiburan (amati lelanguan).

Untuk menghormati hari suci tersebut, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Bali secara resmi meminta radio dan TV tidak bersiaran mulai Kamis, 26 Maret pukul 06.00 Wita hingga Jumat 27 Maret pukul 06.00 Wita. Jadi, pada hari Nyepi itu Bali akan senyap dari segala macam keramaian, sehingga sangat kondusif bagi umat Hindu (atau siapa saja) yang hendak melakukan kontemplasi dan introspeksi diri.

Rangkaian Upacara

Pelaksanaan Nyepi ini terdiri dari serangkaian upacara yang dimulai dengan upacara Melasti yang dilakukan antara empat atau tiga hari sebelum Nyepi. Pada saat upacara Melasti umat Hindu mengusung pratima (personifikasi Kekuasaan Tuhan) dan segala perlengkapannya dengan hati tulus ikhlas, tertib dan hidmat menuju samudra atau mata air lainnya yang dianggap suci. Upacara dilaksanakan dengan melakukan persembahyangan bersama menghadap laut. Setelah upacara Melasti usai dilakukan, pratima dan segala perlengkapannya diusung ke Balai Agung di Pura Desa untuk disemayamkan.

Sehari menjelang Nyepi, umat Hindu melaksanakan upacara Mecaru yaitu upacara untuk mengharmoniskan hubungan manusia dengan alam sekitar, termasuk dengan mahluk-mahluk astral yang disebut dengan bhuta kala. Upacara ini diselenggarakan di lapangan terbuka atau perempatan jalan dan di lingkungan rumah masing-masing. Upacara untuk wilayah provinsi, kabupaten da kecamatan dilakukan pada tenga hari. Sedangkan upacara di masing-masing rumah dilakukan menjelang sore (sandyakala).

Setelah mecaru, acara dilanjutkan dengan ngrupuk yakni membawa obor dan menaburkan nasi tawur mengelilingi rumah. Sedangkan untuk di tingkat desa dan banjar, umat mengelilingi wilayah desa atau banjar tiga kali dengan membawa obor dan alat bunyi-bunyian. Sejak tahun 1980-an, umat mengusung ogoh-ogoh yaitu patung raksasa. Ogoh-ogoh yang dibiayai dengan uang iuran warga itu kemudian dibakar. Pembakaran ogoh-ogoh ini merupakan lambang nyomia atau menetralisir unsur-unsur kekuatan jahat di alam semesta ini.

Ogoh-ogoh sebetulnya tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari Raya Nyepi. Patung yang dibuat dengan bambu, kertas, kain dan benda-benda yang sederhana itu merupakan kreativitas dan spontanitas masyrakat yang murni sebagai cetusan rasa semarak untuk memeriahkan upacara ngrupuk. Karena tidak ada hubungannya dengan Hari Raya Nyepi, maka jelaslah ogoh-ogoh itu tidak mutlak ada dalam upacara tersebut. Namun benda itu tetap boleh dibuat sebagai pelengkap kemeriahan upacara dan bentuknya agar disesuaikan, misalnya berupa raksasa yang melambangkan Bhuta Kala.

Keesokan harinya, tibalah Hari Raya Nyepi. Pada hari ini dilakukan Catur Brata Penyepian di mana umat Hindu Bali tidak melaksanakan empat hal yang telah dipaparkan di atas itu. Dengan tidak menyalakan api (termasuk mesin dan listrik), tidak bepergian, tidak bekerja, dan tidak menikmati hiburan, pada hari itu umat Hindu melakukan kontemplasi yang dibarengi dengan upawasa (puasa) dan mona brata (tidak berbicara) selama 24 jam.

Rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka adalah hari Ngembak Geni, yakni sehari setelah Nyepi. Pada hari inilah Tahun Baru Saka dimulai. Pada hari itu umat Hindu bersilaturahmi dengan keluarga besar dan tetangga, untuk saling maaf-memaafkan (ksama).

On Labels: , | 0 Comment

Hari ini masyarakat Hindu di Bali merayakan hari Siwa Ratri. Siwa Ratri (Siwa Latri) yang berarti "malam siwa", adalah hari suci untuk memohon pengampunan dosa ke hadapan Sang Hyang Widhi. Karena itu banyak yang menyebutnya sebagai hari penebusan dosa.
Hari raya ini jatuh pada purwaning tilem sasih kepitu, atau sehari menjelan bulan mati ke-tujuh.

Kegiatan- kegiatan yang dilaksanakan pada hari tersebut adalah melakukan persembahyangan sebagai pembukan hari (selesai tepat pukul 06.00), lalu dilanjutkan dengan monabrata (puasa berbicara), upawasa (puasa makan dan minum) dan mejagra (puasa tidur).

Monabrata dilaksanakan selama 12 jam (06.00 - 18.00), upawasa selama 24 jam (06.00 - 06.00 keesokan harinya), sedangkan mejagra dilakukan selama 36 jam (06.00 - 18.00 keesokan harinya). Setiap akhir dari setiap jenis puasa tersebut dilaksanakan satu persembahyangan sebagai penutupnya.

Inti dari seluruh kegiatan yang dilaksanakan ini adalah untuk melatih dan peningkatan kualitas rohani..

On Labels: , | 0 Comment