Diambil dari kolom ‘Bungklang Bungkling’, ‘Duweg’, di harian Bali Post, Minggu, 2 Januari 2011, oleh I Wayan Juniartha. Diterjemahkan oleh Putu Semiada
Duweg (Pandai)
I Made Buta Aksara terheran-heran melihat anak-anak jaman sekarang. Mereka belum bisa berjalan dengan baik, tapi sudah didaftarkan menjadi murid, belum sadar betul dari bangun tidur, mereka sudah mesti buru-buru berangkat ke sekolah, dan belum begitu tegak sekali , mereka sudah mesti menggendong tas rangsel yang berisi buku banyak sekali.
Kalau dahulu yang ada hanya SD, sekarang sudah ada TK, dan sebelum TK masih ada playgroup. Mungkin lama-lama bayi yang baru lahir sudah mesti disuruh sekolah.
“Waktu jaman aku dulu, jangankan tahu sekolah, atau huruf, melihat nasi putih yang dicampur ketela saja sudah bersyukur sekali,” kata I Made.
Sekarang baru lahir sudah diberi susu yang mahal, pantatnya terus dibungkus pampers. Baru tiga tahun sudah masuk play group, pasti mereka akan menjadi anak-anak yang sangat pintar nantinya.”
Yang lainnya manggut-manggut saja. Kebanyakan dari mereka saat ini punya cucu yang lagi bersekolah, ada yang di play group, dan ada juga yang di TK.
Apalagi masuknya di TK swasta yang memiliki kurikulum internasional seperti cucuku, Ni Luh Astrid Helenawati Pertiwi Utami,” kata I Wayan Belog Dusun .
Umurnya belum sampai lima tahun, tapi biacaranya ceriwis sekali. Dia kadang-kadang berbicara bahasa Indonesia, setelah itu bahasa Inggris, habis itu berbahasa Cina, tapi tidak pernah berbahasa Bali. Maklumlah sekolahnya memakai kurikulum internasional.
Akibatnya kakek dan neneknya tidak bisa ngomong-ngomong sama cucunya. Mau menawarkan sesuatu juga tidak berani karena cucunya sukanya hanya Rotiboy dan pizza. Akibatnya kakek dan neneknya hanya bisa tertegun menyaksikan cucunya bicaranya ceriwis dan meniru-niru tingkah polah artis sinetron yang di televisi.
“Sebaliknya cucuku bodohnya tidak ketulungan semenjak dia sekolah di TK. Kerjanya hanya menangis di rumah, tidak mau sekolah. Katanya setiap dia sekolah ibu gurunya marah-marah saja karena dia tidak bisa membaca dan menulis. Teman-temannya juga sering mengejeknya, dia dikatakan bodoh. Aku kasihan sama dia, masih kecil tapi bebannya berat sekali,” kata I Ketut Celurut.
Memang sulit menjadi anak kecil sekarang. Karena sekarang jaman kompetensi, jadinya dari kecil sudah disuruh belajar
Dahulu anak-anak masih sempat belajar merangkak dan berjalan pelan-pelan dan terhuyung-huyung, dan kadang-kadang jatuh.
Kalau sekarang mereka sudah harus langsung lari. Anak kecil yang pintar itu adalah anak yang masih di TK yang bisa membaca, menulis dan menghitung. TK yang bagus itu adalah yang mengajarkan murid-muridnya membaca, menulis dan menghitung. Orang tua yang baik itu adalah orang tua yang menyekolahkan anaknya di TK dan setiap sore hari memaksa anaknya belajar membaca, menulis dan menghitung.
“Jika dari TK sudah bisa membaca, menulis dan menghitung, tentu akan lebih cepat bisa menyerap pelajaran di SD. Jika duluan masuk, tentu duluan tamat. Jika umur 3 tahun sudah masuk, tentu umur 20 sudah menjadi professor. Seperti itu tampaknya tujuannnya,” sela I Made.
Sialnya tujuan tersebut memang sama sekali tidak ada hubungannya dengan jiwa anak-anak.
Kalau diandaikan sebagai buah, bagaikan buah yang dikarbit. Bukannya karena buah itu ingin cepat matang. Namun lebih karena yang punya buah ingin cepat-cepat merasakan manisnya buah tersebut, dan ingin mendapatkan keuntungan secepatntya.
Karena buah itu matang karena karbit, jadinya lebih banyak hasil pendidikannya membuat hati miris; ada anak kecil yang cetu (kecil umurnya tapi tua bicara dan perbuatnnya), ada anak kecil yang gede-gede ngonyang boreh (tahu segala teori, tapi tidak bisa menaikkan layang-layang, tidak tahu metembing (permainan tradisional), karena lebih banyak terkurung di kamar belajar dari buku, ada juga anak-anak yang bantal dugal (tidak kuat menghadapi pelajaran di sekolah, akibatnya mengamuk sana sini, tidak mau sekolah dan tidak mau mendengarkan nasehat).
“Jangan terlalu keras sama anak-anak. Meskipun dia belum bisa membaca maupun menulis, jika mereka masih bisa tertawa, bermain, mendengarkan nasehat, serta sayang dengan saudara-saudaranya, maka itu adalah hak yang bagus sekali. Sekalipun besok lusa mereka tidak menjadi professor, pasti mereka akan menjadi orang yang mempunyai akal budi,” kata I Made lagi.
Di dunia ini sudah banyak ada professor, jadi sudah tidak perlu sama orang pintar lagi. Yang lebih diperlukan adalah orang-orang yang berakhlak dan berbudi.