Gresik United In Future, Good Suggestion for You

Diambil dari kolom ‘Bungklang Bungkling’, ‘Suci’, di harian Bali Post, Minggu, 24 Oktober 2010, oleh I Wayan Juniartha. Diterjemahkan oleh Putu Semiada.



Suci

Ada perdebatan yang seru antara I Made Nyineb Wangsa dan Ni Luh Makin Digosok Makin Sip.

“Tolong kasi aku botol yang suci, yang bukan bekas (sukla), kata I Made.

Sudah bertahun-tahun I Made mencari asal usul leluhurnya (kawitannya). Dan baru tahun baru kemarin dia baru menemukan prasastinya.

Ternyata termasuk warga (warih) satria utama jaman Bali Kuno, keturunan Tri Wangsa. Semua anggota keluarga I Made berganti nama dengan menempatkan kata ‘Anak Agung’ (panggilan untuk kelompok ksatria) di depannya. I Made sendiri merubah namanya menjadi Anak Agung Gdé Agung Ngurah Gdé (AAGAGNG). Malah dia hendak menambahkan kata Shri-Shri di depan AAGAGNG, namun anggota keluarganya tidak ada yang setuju, karena kesannya banci (dikira sama dengan Sri) dan sudah ada orang gila yang sudah memakai gelar Shri itu.

Kadang-kadang sampai keseleo lidah teman-temannya jika hendak memanggil namanya I Madé. Jika dia tidak dipanggil ‘Ratu’ (seperti bupati yang merasa menjadi raja atau sebaliknya), atau minimal ‘Gung Dé’, maka dia tidak akan mau melirik. Jika ada upacara (karya) di desa, maka dia tidak akan mau mengambil kerjaan apapun. Dia hanya datang memakai udeng (hiasan kepala) yang bagus, hanya duduk-duduk saja di bale, pura-pura sebagai penua. Makanpun dia sudah tidak mau sambil jongkok, dan mesti pakai dulang (tatakan buah).

Ini botol yang bersih, sudah dicuci dengan menggunakan rinso dan air bersih. Setiap pagi juga peralatan ini aku percikkan air suci (tirta) dari griya (rumah pendeta). Apanya yang kurang suci lagi?” Ni Luh tampak kesal.

Hampir lepas rasanya matanya AAGAGNG karena dia terlalu keras mendelik. Pertama, karena Ni Luh brani-braninya memberikan botol bekas (tidak sukla).Kedua, karena Ni Luh berani memakai bahasa biasa terhadapnya yang baru saja naik status menjadi kstaria.

“Kamu memang benar-benar orang kampung, suci itu beda dengan bersih, meskipun kamu cuci sampai dua ratus kalipun gelas yang sudah pernah dipakai tersebut tidak akan bisa sukla dan suci. Bersih tidak selalu berarti suci, tahu?” Ida Anak Agung menghardik.

Mereka mengangguk-anguk. AAGAGNG tersenyum lebar setelah menyadari krama sekaa tuak manggut-manggut. Dia merasa seperti sang praqbu yang dikelilingi oleh para mentrinya.

“Benar sekali bicaranya Tuan Agung, junjungan kami. Yang bersih belum tentu suci. Contohnya sudah banyak, para anggota DPR yang bajunyabersih, kulitnya bersih, giginya bersih, dahinya bersih, ternyata tidak suci. Hingga jauh-jauh ke Yunani mereka belajar etika, artinya mereka tidak bisa beretika dan tidak bisa mengendalikan keinginan, alias tidak suci,” I Ketut Sumbing Nyindir berkata.

Mereka semua tertawa terkekeh-kekeh. Sepertinya angin mulai berputar. Kelihatannya saja I Ketut bertutur dengan sopan, namun sebenarnya dia lagi mencari kesempatan untuk mengolok-olok AAGAGNG.

“Kalau bersih itu di luar, kalau suci itu di tengah. Yang kotor bisa dicuci biar menjadi bersih. Jika cemar (cemer) apa yang dipakai untuk untuk mencucinya supaya bisa suci? Yang jelas bukan air ataupun rinso.

Ida Anak Agung hanya melongo. Maklumlah sekalipun statusnya sudah meningkat namun otaknya masih seperti dulu. Meskipun sudah memakai gelar satria utama, memiliki puri yang megah, jika otak masih kosong, tetap saja tidak ada artinya. Baru diserang dengan kata-kata seperti itu oleh I Ketut, dia langsung tidak bisa ngomong apa-apa.

“Perbuatan yang baik, tutur kata yang halus, pikiran yang jernih itu akan bisa menghilangkan cemer, itulah yang dipakai menyucikan diri.”

Karena gelas bukan manusia, tidak bisa berbuat, tidak bisa bertutur, tentu tidak bisa menycukan diri. Sekalipun gelasnya baru, stausnya tetap bersih, tidak akan pernah suci.

Cemer dan kotor itu dua hal yang berbeda juga. Namun karena jamanya sekarang jaman Kali Yuga, banyak hal yang sudah cemer bercampur dengan kotor (daki). Ada warga yang saling lempar di pura saat sembahyang, ada warga yang berpakaian adat dan sembahyang sebelum membakar rumah saudaranya sendiri. Ada warga yang menendang pintu pura agar bisa masuk ke pura agar bisa sembahyang, ada warga yang saling berseteru untuk memboikot warga yang lain agar tidak bisa mengubur mayat. Inilah yang dinamakan cemer bercampur dengan kotor (daki).

Apalagi ditambah pula dengan sedikit kebodohan. Jika sudah begini keadaannya siapa yang berani menepuk dada dan mengaku-ngaku kelompok satria utama?