Gresik United In Future, Good Suggestion for You

Diambil dari kolom ‘Bungklang Bungkling’, ‘Jemet’, di harian Bali Post, Minggu, 13 Januari 2011, oleh I Wayan Juniartha. Diterjemahkan oleh Putu Semiada


Jemet


Apakah orang Bali tekun atau tidak?

“Jelas mereka sangat tekun, sebenarnya tidak ada yang lebih tekun dari oran Bali,” kata I Made Mayus Makudus.

Lihat saja transmigran asal Bali di Lampung, di Sulawesi. Hutan yang paling lebat sekalipun mereka babat, bukit paling tinggi pun mereka hancurkan untuk diubah menjadi sawah dan ladang. Sekalipun matahari belum terbit, warga Bali di sana sudah mulai bekerja, mencangkul dan memotong rumput. Jika tidak ada transmigran asal Bali, mungkin hingga saat ini orang Sulawesi tidak tahu enaknya beras.

“Maksudku orang Bali yang tinggal di Bali. Kalau transmigran Bali jelas mereka tekun. Kalau tidak tekun, sama siapa mereka bakal minta makan di daerah orang,” I Wayan Sinis Kritis menyela.

“Waduh, kenapa kamu mesti sangsi. Transmigran Bali sama tekunnya dengan orang Bali yang tinggal di sini. Namun di sini mereka terlalu banyak perimbangan.”

Pertimbangan pertama: Karena orang Bali merasa mayoritas di sini, sehingga mereka merasa wajib untuk memiliki rasa “belas kasihan” terhadap kaum minoritas.

“Oleh karena itu, banyak sekali jenis pekerjaan yang diserahkan kepada orang Jawa dan Lombok. Orang Bali tidak mau berebut, jadi mereka biarkan saja pekerjaan itu diambil oleh orang Jawa dan Lombok sehingga dapur mereka tetap ngebul, sekaligus bisa membesarkan anak-anak mereka dan menyekolahkannya.

Jenis-jenis pekerjaan seperti membersihkan got, mengaspal jalan, pemulung, dagang bakwan, dagang pecel lélé, buruh bangunan, CO (Cewek Orderan), OO (Ojek Orderan), PO (Penjahat Orderan), semuanya diserahkan sama saudara-saudara dari Jawa dan Lombok.

“Sekarang bahkan hingga pekerjaan memanen padi, jualan sesaji (canang) juga sudah diserahkan kepada orang Jawa dan Lombok. Orang Bali memang benar-benar sayang dan perhatian sama nasib saudara-saudaranya yang miskin dari seberang pulau,” kata I Madé lagi.

Matanya mulai berkaca-kaca menahan haru. Terharu sekali dia memikirkan kebesaran hati orang Bali. Sehingga anggota sekaa tuak yang lain juga mulai terharu.

Pertimbangan kedua, orang Bali tidak suka menyakiti orang lain, tidak suka memerintah orang maupun menggurui orang.

“Orang Bali tidak mau mengambil pekerjaan memerintah orang yang hanya mengandalkan mulut. Bukannya karena orang Bali tidak mampu, atau tidak bisa, namun karena mereka tidak suka.”

Oleh karena itu pula pekerjaan seperti GM hotel sudah diserahkan kepada bulé-bulé yang di negaranya sendiri tidak punya pekerjaan. Pekerjaan seperti direktur, pemilik perusahaan, bos restoran, pemiik travel, kritikus seni diberikan kepada orang Cina dan Jakarta.

“Sekarang bahkan makelar tanahpun sudah diambil oleh orang bulé. Kasihan mereka jauh-jauh datang mencari sesuap nasi, eh roti, supaya dia bisa memiliki mobil, villa, dan menyekolahkan anak-anaknya di Sydney maupun London.”

Sekarang I Made benar-benar menangis begitu pula yang lainnya. Mereka kagum akan kepolosan dan kebaikan hati orang Bali.

Pertimbangan yang ketiga, orang Bali tidak senang mengambil pekerjaan yang belum jelas hasilnya, pekerjaan yang memakan tenaga tetapi hasilnya sedikit. Orang Bali memang pintar, hanya pekerjaan yang cepat, gampang dan menghasilkan uang banyak yang mau diambil.

“Jika mereka mempunyai tanah, maka akan dikontrakkan, jika tidak dikontrakkan maka akan dijual sehingga langsung mendapat uang banyak. Jika tidak punya tanah maka tanah teman, tanah milik desa (tanah ayahan desa), tanah milik pura (pelaba pura) dicarikan investor. Bila perlu pura dan pretima dijual. Itulah yang disebut pintar, tidak keluar tenaga tetapi kantong menjadi tebal.”

Yang lain manggut-manggut saja. Mereka senang mendapatkan kenyataan bahwa orang Bali pintar dan bijaksana dalam mencari pekerjaan.

Pertimbangan nomer empat: orang Bali memang benar-benar kesatria, nasionalis dan heroik. Oleh karena itu kalau urusan membela negara, mengabdi kepada negara, maka orang Bali nomer satu.

“Sekalipun mereka mempunyai pekerjaan yang bagus, gaji lumayan, tetapi jika ada kesempatan mengabdi kepada bangsa dan negara dengan menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) maka mereka akan berlomba-lomba melamar. Sekalipun mereka harus mengeluarkan uang 100 juta supaya diterima, maka mereka akan berusaha. Apalah artinya uang sebegitu demi membela negara dan mengabdi kepada nusa dan bangsa. Itu baru uang, nyawa sekalipun akan mereka pertaruhkan demi membela Indonesia sebagai PNS.”

I Made lalu menangis keras-keras. Krama sekaa tuaknya juga menangis tersedu-sedu. Sekarang mereka baru sadar bahwa orang Bali termasuk juga diri mereka, bukan saja giat bekerja , tetapi juga welas asih kepada orang lain, tidak suka main telunjuk, rendah hati, pandai dan bijaksana, serta siap sedia membela bangsa dan negara. Orang Bali memang benar-benar manusia utama.