
Plastik
Sudah tiga hari hujan tidak berhenti-berhenti. Hari pertama dan kedua penjualan tuak langsung turun. Maklum krama sekaa tuak nya tidak ada yang berani keluar. (bisa pake koma) Karena sebagian besar mereka usianya sudah separuh baya. Mereka hanya berani kepada gadis-gadis muda, tapi sama hujan malah takut. Takut kalau rematiknya kumat.
Pada hari ketiga baru satu persatu mereka muncul. Mereka sangat kangen dengan manisnya rasa tuak dan hangatnya arak. Mereka datang dengan membawa payung dan jas hujan. Semuanya membawa berita buruk perihal hujan yang turun bukan pada waktunya.
“Sialan, hujan-hujan seperti ini binatang-binatang melata masuk ke kamar mencari kehangatan, mulai dari kalajengking, kaki seribu dan ular,” kata I Made Sial Lemang Peteng.
Mereka semua tertawa cekikikan melihat kepalanya I Madé bengkak, matanya bolokan, dan mulutnya miring. Kelihatannya dia sudah disengat oleh kalajengking dan kaki seribu.
“Itu baru segitu Dé, nasibku lebih buruk lagi. Baru hujan dua hari, sawahku sudah menjelma menjadi kubangan plastik. Padiku hancur ditimbuni tas kresek dan jenis sampah-sampah yang lain,” begitu kata I Ketut Ngangsur Ngangsut.
Manggut-manggut krama sekaa tuak nya. Semua sawah mereka pernah dibanjiri sampah plastik. Setiap hujan lebat, maka salurannya akan tersumbat, dan akibatnya sampah plastik menggenangi sawah mereka.
“Jika sampahnya cuma daun-daunan saja dan kayu masih lebih mudah membersihkannya. Jika dibiarkan maka akan membusuk sendiri, kemudian hanyut.”
Sampah plastik mirip seperti ilmu hitam. Jika sekarang dicarikan dukun, maka besok akan kambuh lagi sakitnya.
“Plastik memang sulit dibersihkan, sering tersangkut di padi. Plastik juga tidak bisa membusuk, kalau dibiarkan di saluran biar presidennya berganti tiga kali juga tidak bakalan rusak,” kata I Ketut.
Semuanya jengkel mendengar masalah plastik tersebut.
“Sialan, masak kita kalah melawan plastik. Penjajah saja bisa kita usir, dan kelompok preman saja bisa kita labrak,” I Wayan Wat Kawat menyela.
“Bagaimana kalau kita membentuk gerakan anti plastik, kita berhenti menggunakan plastik, dan bakar saja sampah di rumah masing-masing. Mari kita kembali mengunakan daun dan kertas sebagai pembungkus,” lanjutnya dengan lantang.
“Bali Bebas Plastik,” kata I Wayan keras-keras.
Langsung tepuk tangan semuanya. Jika sudah urusan koar-koar tentang slogan Bali pulau ini, Bali pulau itu, maka orang Bali sangat bersemangat. Apalagi kalau masalah urusan menghajar, membakar, langsung saja semuanya ingin ikut.
“Kita banyak sekali memakai plastik, jika daun pisang dan kertas kita pakai sebagai pengganti, maka banyak sekali pohon kayu yang mesti ditebang untuk bahan kertas, disamping itu pohon pisang juga akan terlihat sengsara. Bukankah akan semakin merusak keadaan bumi?” I Madé pura-pura bertanya.
Mereka kemudian terpana seolah membenarkan perkataan I Madé. Di luar hujan semakin lebat. Mereka sekarang menggeser-geser duduknya mendekati Ni Luh Makin Digosok Makin Sip. Semuanya bisik-bisik memesan tuak mau dibawa pulang.
“Luh, tolong dibungkus tuak dua bungkus ya, pakai plastik.”