Diambil dari kolom ‘Bungklang Bungkling’, ‘Galungan’, di harian Bali Post, Minggu, 12 Desember 2010, oleh I Wayan Juniartha. Diterjemahkan oleh Putu Semiada

GALUNGAN
Warung tuak tampak sepi. Kalau musim upacara seperti halnya Galungan dan Kuningan seperti sekarang, jumlah konsumen warung tuak pasti menurun. Hal itu bukan karena mereka sudah pada insyaf atau sudah menjadi anggota FPI (Forum Pengeng Inguh = Forum Manusia Bingung).
“Warung tuak sepi karena kebanyakan minum bir dan coca cola. Mereka baru saja mendapat THR (Tunjangan Hari Raya), jadinya mereka gengsi minum tuak,” kata I Made Buta Dungulan.
Hanya I Made dan I Ketut Tuak Labuh yang ada di warung tuak. Dua-duanya tidak mendapat THR. Dua-duanya tidak mempunyai pekerjaan dan tidak bekerja, bagaimana mereka bisa mengharapkah THR?
“Warung sepi karena krama yang lain sibuk di tempat lain,” kata I Ketut.
Tempat lain itu maksudnya adalah arena sabungan ayam, arena kartu ceki dan kartu domino.
“Inilah hebatnya Galungan. Semua laki-laki (Bali) berlomba-lomba bangun pagi, tergopoh-gopoh ke pura keluarga (sanggah) dan pura, kemudian cepat-cepat sembahyang supaya bisa segera ke tempat sabungan ayam dan main ceki sampai larut,” I Ketut tertawa cekikikan.
Memang luar biasa. Pada Hari Raya Galungan, semua bhetara turun ke bumi, leluhur juga cuti dari sorga, sehingga bisa menengok anak cucunya, anehnya yang sibuk ‘melayani’ leluhur hanya yang perempuan saja. Rasanya hampir putus pinggang mereka merayakan Galungan, sampai lepas rasanya lutut mereka kesana kemari dan naik turun tangga menghaturkan sesaji, sampai hancur pewarna kukunya untuk mempersiapkan kelengkapan sesaji, sampai rusak bedaknya kena keringat karena membawa sesaji di atas kepalanya.
Memang hebat. Pada saat Galungan yang laki-laki sibuk libur. Mempersiapkan masakan sebentar — yang hasilnya juga dimakan sendiri, membuat penjor sebentar, setelah itu mereka mengaku kehabisan tenaga, sakit pinggang, tidur, terus malamnya main kartu ceki.
Memang hebat. Ida Betara dan Leluhur turun (tedun), sabungan ayam makin banyak, permainan ceki makin marak, bola adilnya makin seru, dagang birnya makin laris.
“Hanya orang Bali saja yang bisa menggabungkan antara judi dengan ritual, sehabis sembahyang lalu berjudi sabungan ayam, hanya laki-laki Bali saja yang bisa merayakan Galungan dengan minum-minum, bermain ceki, dan berkelahi sama saudara sendiri,” I Made tertawa terkekeh-kekeh.
Hanya orang Bali yang bisa merayakan kemenangan dharma dengan beramai-ramai melakukan adharma.
“Kalau agama-agama lainnya jelas kurang seru perayaan hari rayanya. Sehabis sembahyang, mereka mendengarkan ceramah agama selama berjam-jam yang isinya dilarang begini dan begitu, serasa kuping mau lepas. Sehabis itu mereka mesti memberikan sumbangan kepada orang miskin. Jelas kurang greget perayaan agama-agama lainnya,” tambah I Ketut lagi.
“Memang agama Hindu yang paling asyik dan gaul,” sahut I Made ssembari bersendawa, karena tuaknya memang enak sekali.
Jika agama lain kebanyakan aturan, agama Hindu bisa-bisa saja, bisa berjudi sabungan ayam yang penting pulangnya masih ada yang bisa dibawa, masih boleh minum yang penting jangan sampai mabuknya ngawur.
“Dan tidak perlu memberi sumbangan apa-apa kepada orang miskin. Jika saking miskinnya tidak bisa membayar iuran (peturunan), ambil saja harta miliknya dan kucilkan (sepekan). Dari pada member sumbanagan kepada orang miskin, lebih baik uang digunakan untuk selingkuh, boleh selingkuh asal tidak sampai merusak keluarga sendiri,” I Ketut terkekeh-kekeh.
Memang tidak boleh merusak keluarga, apalagi sampai mengusir istri. Jika istri sampai pergi, siapa yang akan mengurus Galungannya. Kalau para CO (Cewek Orderan) tidak bisa membuat sesaji, mereka hanya bisa memoroti dompet saja.
“Memang bagus sekali agama kita, sampai kapanpun aku akan terus beragama Hindu,” kata I Made sambil bersendawa lagi. Enak sekali tuaknya.
Selamat Hai Raya Galungan, mari bersama-sama kita membela kebenaran (dharma) dan melestarikan Bali dengan giat berjudi sabungan ayam, sering minum, rajin menyakiti saudara sendiri, serta mengucilkan saudara-saudara yang miskin!