Diambil dari kolom ‘Bungklang Bungkling’, ‘Radikal’, di harian Bali Post, Minggu, 14th November 2010, oleh I Wayan Juniartha. Diterjemahkan oleh Putu Semiada

Radikal
Semuanya krama sekaa tuak ngomong berbisik-bisik. Maklum topiknya agak sensitif.
“Katanya murid-murid yang beragama Islam mendapat pelajaran tentang jihad waktu pelajaran agama?” kata I Made Simpang Siur.
Jika ada gosip panas biasanya memang I Made yang paling dahulu tahu. Maklumlah dia bekerja di di LPD (Lemah Peteng Diwang = Kebanyakan hidup di luar), sehingga dia lebih banyak waktunya ngobrol di luar.
Meskipun status beritanya masih gosip, langsung saja semuanya menanggapi dengan serius. Memang kalau di sini gosip, atau berita yang belum jelas, akan disambut hangat. Kalau beritanya sudah jelas apanya yang perlu dibahas lagi?
“Kalau benar seperti itu semestinya pemerintah bertindak sigap dan tepat. Kenapa anak-anak kecil diajar masalah kekerasan, urusan perang suci, urusan masalah membela Tuhan dan berperang membawa-bawa nama Tuhan,” I Wayan Pengamat Sosial, Budaya dan Pendidikan menjawab.
Semuanya tertawa terpingkal-pingkal mendengar komentarnya I Wayan. I Wayan sepertinya kebanyakan ilmu sehingga setiap ada orang yang bicara pasti ikut komentar. Tapi pada akhirnya selalu berserah kepada pemerintah.
“Sudah jelas sekali pemerintah kita lebih senang berpidato dari pada bertindak, sukanya pelan-pelan asal terlambat, sekarang kamu malah meminta mereka supaya sigap dan cepat,” I Putu Sing Pati Rungu (I Putu Tidak Pernah Hirau) menyela.
Sudah dua hari Mentawai rata kena tsunami , pemerintah baru membentuk tim, baru rapat, baru berkoordinasi. Saking seriusnya berkoordinasi sampai salah satu anggota tim penyelamatnya ditinggal oleh kapal.
Saking lambatnya ngurus kasus korupsi Gayus, sampai dia sempat jalan-jalan ke Bali.
“Jika hal ini tidak cepat ditangani, bisa berbahaya. Bisa-bisa murid-muridnya kalau sudah besar akan menjadi orang yang radikal, dan juga bisa menjadi teroris,” tambah I Made.
Mereka semua mengangguk. Jika sudah ngomong masalah radikal , apalagi ada kata teroris, maka semuanya berdebar-debar. Semuanya ingin bertindak segera.
Hanya I Putu saja yang tidak manggut-manggut.
“Jika dipikir-pikir, semua pelajaran agama di sekolah ada pelajaran tentang membela Tuhan, membela kebenaran dan juga membela kebenaran dengan jalan kekerasan,” katanya.
Murid yang beragama Hindu tentu diajari tentang kepiawaian sang Arjuna dan Bima, tentang pelajaran masalah Bharatayuda dan Ramayana. Keduanya menceritakan tentang ksatrya yang gagah berani membela kebenaran (darma ), yang berperang, yang membunuh manusia, raksasa, kera dan butha kala lainnya yang tidak terhitung jumlahnya. Kalau bukan kekerasan yang berdasarkan agama, berdasarkan keinginan membela darma dan Tuhan, lalu apa namanya itu?
“Semua agama ada unsur kekerasannya, sama halnya bahwa agama satu sama lainnya saling bersaing: ada agama yang mengaku sebagai agama tertua dan teragung, ada agama yang mengaku paling benar, ada juga agama yang merasa paling welas asih.”
Meskipun tidak ada unsur menyiksa dan menghancurkan, tapi kalau kita sudah punya pikiran agama lain lebih muda, lebih bodoh, lebih jelek, lebih rendah, bukankah kekerasan juga namanya? Bukankah itu juga radikal?
Semuanya mengangguk-angguk.
“Masalah radikal dan teroris itu masalah siapa yang merasa dirinya paling benar dan paling banyak mempunyai massa. Jika dikemudian hari kita yang beragama Hindu merasa diinjak-injak tentu nanti timbul juga radikalisasi Hindu, jika dikemudian hari agama Hindu mempunyai pengikut paling banyak, tentu akan ada juga warga Hindu yang menindas warga agama lainnya,” kata I Putu lagi.
Sekarang belum jadi mayoritas saja banyak warga Hindu yang menindas warganya sendiri. Disamping itu, belum betul-betul tertindas saja banyak warga Hindu yang menjadi radikal , kesana kemari berkoar-koar mengatakan bahwa agama Hindu Bali adalah agama yang salah, yang harus dimurnikan , yang harus dikembalikan ke ajaran aslinya di India.
“Biar saja radikalisasi menjadi urusan saudara kita yang beragama Islam. Ada lebih dari 150 juta jumlah mereka di Indonesia, berapa orang sih yang menjadi teroris? Mestinya kita juga bercermin apakah kita sudah menjadi orang Hindu yang baik?”