Gresik United In Future, Good Suggestion for You

Diambil dari kolom ‘Bungklang Bungkling’, ‘REMATIK’, di harian Bali Post, Minggu, 9 Mei 2010, oleh I Wayan Juniartha. Diterjemahkan oleh Putu Wiwid Budiastra.



REMATIK

Pilkadal (pemilihan kepala kadal) sudah selesai. Yang menang bisa melenggang mulus, yang kalah sudah tersingkir. Warga sekaa tuak sudah dari sore menunggu-nunggu kandidat yang menang. Sepatutnya kalau sudah berhasil menjadi Kepala Kadal, kandidatnya datang memberi ucapan terimakasih. Sepatutnya pada waktu kampanye memberi sepuluh juta, setelah menang wajib memberi duapuluh juta.

Namun, sampai matahari tenggelam tidak ada kandidat yang datang. “Kepala Kadal yang berkumis tidak ada datang, Kepala Kadal yang mulus tanpa kumis pun tidak datang juga. “Asli pertanda buruk ini, pertanda setelah menang akan lupa dengan yang memilih,” begitu kata I Made Golput Bukan Dosa.

Warga sekaa tuak pada tertawa. Memang tidak tahu malu I Made, tidak ikut memilih tapi ingin ikut dapat bagian.

“Namanya Kepala Kadal, kalau sudah menang asli tidak akan ingat teman. Yang diingat hanya bagaimana caranya balik modal. Itu yang menyebabkan masyarakat pintar jika ada kandidat yang minta dukungan maka cepat-cepat meminta uang muka,” I Putu Coblos Kanan Coblos Kiri ikut bicara.

Kepala Kadal tidak ada datang, yang muncul malah I Wayan Sing Maan Apa (I Wayan tidak dapat apa-apa),Guru SD Inpres di sebelah timur lapangan desa. Warga sekaa tuak pada terkejut. Maklum, I Wayan dikenal sebagai sosok yang berkepribadian lurus. Taat beragama juga guru yang bermoral; tidak pernah mampir ke warung tuak (Ia lebih suka dengan coca-cola), tidak pernah main perempuan (takut istri), kalau main ceki (kartu cina) sembunyi-sembunyi.

Baru sampai di warung, tanpa sapaan, tanpa selamat malam, I Wayan langsung mengambil sebotol tuak lalu diteguknya. “Bapak lagi stress,” begitu katanya. Kebiasaan dipanggil Bapak Guru oleh murid-muridnya, I Wayan memakai kata “Bapak”. Sempat dulu kepalanya dipukul sang ayah karena saat menyembah Ida Pedanda (orang suci) juga berkata dirinya “Bapak.”

Warga sekaa tuak cekikikan. Ada yang mengaku stress itu bukan kabar baru. Zaman seperti sekarang siapa yang tidak stres? Mata pencaharian susah, hari raya besar sudah dekat, dompet sudah begitu lama kesepian tidak terisi uang. Rasanya Ida Bhatara pun sudah stress juga, setiap hari diminta ini-itu oleh hamba-Nya. Sembahyang canang dua ratus rupiah, tapi doanya minta agar bisa membeli mobil, asli tidak balik modal Ida Bhatara.

“Pemerintah ada-ada saja. Bapak diharuskan ikut sertifikasi. Katanya kalau lulus sertifikasi akan dapat kenaikan gaji. Mau Bapak pakai apa pula kenaikan gaji itu? Bapak lagi setahun sudah akan pensiun. Mau pakai biaya ngaben?” begitu I Wayan menggerutu

Warga sekaa tuak pada manggut-manggut. Memang susah kalau sudah bertahun-tahun biasa mengajar anak-anak, lantas harus kembali belajar, susah kalau terbiasa menguji anak-anak sekarang harus kena ujian, susah kalau biasa jadi guru sekarang harus digurui.

“Harus membuat karya tulis pula, jari tangan sudah rematik semua, bagaimana mau mengetik, setiap kali mengetik harus mengerang kesakitan dulu. Sudah berapa tahun Bapak menjadi guru, dikira tidak bisa mengajar murid, sampai harus mencari sertifikasi lagi?”

Warga sekaa tuak manggut-manggut. Tidak ada yang berani menentang I Wayan. Maklum, tidak boleh lancang dengan Guru, apalagi Guru Pengajian (maksudnya guru yang mendapat gaji).

“Seharusnya, tidak hanya guru yang harus ikut sertifikasi. Anggota dewan, Kepala Kadal, pejabat Negara, harusnya semua ikut ujian sertifikasi dulu. Agar tidak menjadi anggota dewan dan Kepala Kadal bermodal uang, bansos, juga otot besar,” begitu kata I Made.

Warga sekaa tuak manggut-manggut lagi. Sudah setengah mabuk semua, sebenarnya sudah tidak ada yang peduli topik yang didiskusikan. Hari raya besar sudah dekat, tidak sempat menghiraukan nasib I Wayan. Semua memikirkan dimana mencari uang untuk Galungan.

“Pak Guru, kalau sertifikat hasil dari serifikasinya bisa dipakai untuk pinjam uang? Kalau bisa, kasih saya pinjam. Mau saya pakai cari uang di LPD untuk beli bahan-bahan banten (persembahan sembahyang),” I Putu membujuk mencari cara untuk dapat uang.

I Wayan terbengong, merasa nasibnya begitu jelek jadi guru. Kalau tahu bakal begini nasibnya, mungkin lebih baik dulu dia pelihara kumis dan latihan senyum supaya bisa menjadi Kepala Kadal.