Gresik United In Future, Good Suggestion for You



Tak hanya orang Jawa, warga Tionghoa pun kemarin ikut menggelar perayaan Tahun Baru Jawa, 1 Suro. Upacara ditandai dengan kebaktian dan makan siang bersama di Tempat Ibadat Tridharma (TITD) Hong San Ko Tee. Ritual suroan memang sudah menjadi tradisikan kelenteng di Jalan Cokroaminoto Surabaya itu.

"Kalau tidak salah, kami sudah melaksanakan upacara 1 Suro secara rutin selama 15 kali. Bagaimanapun juga, sebagai orang Tionghoa yang lahir dan dibesarkan di Jawa, kami perlu melestarikan budaya Jawa," kata Juliani Pudjiastuti, pengurus TITD Hong San Ko Tee, kepada saya, Selasa (7/12/2010).

Selain warga Tionghoa, perayaan tahun baru Jawa ini juga diikuti warga sekitar dan undangan yang kebanyakan etnis Jawa. Karena itu, sembahyangan dilaksanakan dalam dua sesi. Di bagian dalam kelenteng dipimpin suhu dan pengurus kelenteng, sedangkan ritual suroan dipimpin seorang modin.

Jemaat kemudian berdoa secara pribadi di altar Dewi Sri, yang dikenal sebagai dewi padi dan kemakmuran di tanah Jawa. Menurut Juliani, sejak didirikan 91 tahun silam, para pengelola kelenteng memang telah memberikan penghormatan khusus kepada tradisi dan budaya Jawa. Salah satunya dengan menempatkan Eyang Putri Dewi Sri pada sebuah altar khusus di dalam kompleks Kelenteng Cokro.

"Jadi, sekarang ini kami hanya tinggal merawat dan melestarikan tradisi yang sudah bagus itu," kata Juliani seraya tersenyum. "Nah, suroan ini kami memohon berkah kepada Eyang Putri Dewi Sri, dewi padi dan dewi kesuburan," ujarnya.

Seperti suroan di tempat lain, jemaat Kelenteng Cokro tak lupa menyediakan tumpang berisi nasi berserta lauk pauknya serta jajanan pasar. Setelah didoakan oleh modin, sebanyak 134 tumpeng dibawa pulang oleh umat dan sebagian lagi diserahkan ke pihak kelenteng untuk dinikmati warga sekitar.

"Suroan ini kita bersihkan diri kita, introspeksi, melihat kembali apa yang sudah kita perbuat selama ini. Semoga ke depan keluarga dan masyarakat kita menjadi lebih baik," harap Yuli. (*)