Gresik United In Future, Good Suggestion for You



Suasana haru begitu terasa dalam perayaan ekaristi penerimaan jubah empat suster Benediktin di Sikumana, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Minggu (26/12/2010).

Tak hanya keempat gadis yang kini resmi menjadi anggota kongregasi Benediktin, para orangtua dan ratusan umat yang hadir pun tak kuasa menahan haru.

Ketika salah satu suster senior membacakan nama-nama baru para suster, umat memberikan aplaus meriah. Sang Benediktin baru pun menghadap umat, tersenyum bahagia, kemudian memperlihatkan semacam ‘kartu nama’ anggota Benediktin. Tak sedikit umat yang menitikkan air mata bahagia.

Empat gadis sederhana, yang semuanya berasal dari Flores, hari itu menyerahkan diri sepenuhnya sebagai anggota Benediktin. Kongregasi suster-suster kontemplatif pertama di Indonesia. NTT sengaja dipilih kongregasi asal Lazio, Italia, ini karena panggilan hidup membiara di provinsi ini tergolong sangat tinggi di dunia.

Agustina yang mengenakan pakaian adat Lio, Ende, Flores, mendapat nama baru: Suster Maria Priscilla. Edeltrudis menjadi Suster Maria Elena. Lugardis menjadi Suster Maria Laetitia. Rufina menjadi Suster Maria Clara.

Dipimpin Vikjen Keuskupan Agung Kupang Romo Daniel Afoan, yang didampingi Romo Gerardus Duka, misa penerimaan jubah Benediktin ini berlangsung selama hampir tiga jam. Meski terbilang sangat lama, ratusan umat mengikuti dengan saksama perayaan ekaristi mulia yang digelar di Kapela Benediktin Kupang itu.

“Kita di NTT memang sudah biasa menyaksikan misa penerimaan jubah suster-suster yang baru. Tapi khusus untuk Benediktin benar-benar masih baru di NTT, bahkan di Indonesia,” kata Fidelis, jemaat asal Sikumana, Kota Kupang.

Berbeda dengan suster-suster kongregasi lainnya, Benediktin dikenal sebagai kongregasi kontemplatif dengan disiplin sangat ketat. Mereka tak bisa bebas bepergian ke mana-mana dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk berdoa, misa, ibadat harian, bekerja... di dalam tembok biara.

Umat, bahkan keluarga terdekat, pun tak bisa bertemu langsung dengan para Benediktin. Kalaupun bertemu, para suster Benediktin ini hanya berdiri di balik terali besi biara. Begitu pula di kapel alias gereja kecil, para Benediktin punya tempat doa sendiri di belakang altar, yang juga dibatasi terali besi.

Tak bisa berbaur langsung seperti suster-suster kongregasi lain yang biasa kita kenal. Persis abas-abas di pertapaan Rawaseneng, Jawa Tengah.

Karena disiplin kongregasi yang relatif berat inilah, anggota Benediktin di Indonesia masih sangat sedikit. Ditambah empat suster baru, maka total suster Benediktin di tanah air baru berjumlah 13 orang.

“Saya tahu bahwa kongregasi ini tuntutannya tidak ringan. Tapi saya sejak awal sudah memutuskan untuk menjadi anggota Benediktin, bukan kongregasi lain,” kata Suster Maria Clara yang sebelumnya bernama Rufina.

Menurut Romo Daniel Afoan, penerimaan jubah untuk empat suster Benediktin ini merupakan kali pertama di Keuskupan Agung Kupang, bahkan di Indonesia. sebelumnya, para suster yang ada langsung digembleng di pusat Benediktin di Italia.

“Jadi, peristiwa ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi umat di Keuskupan Agung Kupang,” katanya.

Setelah resmi mengenakan jubah Benediktin, menurut Romo Daniel, perjalanan keempat suster baru ini masih panjang. Mereka harus menjalani masa novisiat, sebuah masa krusial untuk memurnikan panggilan mereka sebagai anggota komunitas Benediktin.

“Tuhan meminta dari para novis ini sebuah ketulusan hati, komitmen yang tulus untuk mencari Tuhan,” papar Romo Daniel. Barulah di akhir masa novisiat, mereka akan mengikrarkan kaul kemurnian, kesetiaan, dan ketaatan.