Gresik United In Future, Good Suggestion for You

Pewilayahan dampak fenomena ENSO di Indonesia dapat dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu pendekatan meteorologi, hidrologi dan agronomi. Pendekatan meteorologi ialah pendekatan dimana pewilayahan dampak dilakukan berdasarkan besar penyimpangan iklim dari nilai normal (nilai anomali). Pendekatan hidrologis sama dengan meteorologis tetapi unsur yang digunakan ialah unsur hidrologis seperti tinggi muka air waduk, debit sungai, penurunan muka air tanah dan lain-lain. Sedangkan pendekatan agronomis, pewilayahan dampak didasarkan pada besar anomali produksi atau hasil, atau data kerusakan lainnya seperti pengeringan daun sebelum waktunya, besarnya wilayah kebakaran hutan dll. Sub-bab berikut menguraikan secara singkat tentang monitoring dan metode yang dapat digunakan untuk pewilayahan dampak fenomena ENSO dengan ke tiga pendekatan disebut di atas.







Pendekatan Meteorologis

Unsur iklim yang dimonitor pada banyak daerah umumnya curah hujan. Monitoring unsur iklim ini dilakukan oleh banyak instansi seperti Departemen Pekerjaan Umum dan Departemen Pertanian. Namun pengelolaan data tetap dikoordinir oleh BMG (Badan Geofisika dan Meteorologi). Saat ini diperkirakan ada sekitar 5,000 penakar hujan di Indonesia. Idealnya, wilayah Indonesia memerlukan penakar hujan sekitar 20,000 penakar (Ardiningsih et al., 2000). Dari total 5000 penakar, sebagian terbesar tersebar di pulau Jawa yaitu sekitar 11 penakar per 100 km2, sedangkan di pulau lainnya kurang dari 2 penakar per 100 km2 (Tabel 1).





tabel 1. Tabel Kerapatan Jaringan Penakar Hujan





Untuk melakukan penilaian awal apakah suatu daerah peka terhadap kejadian ENSO dapat dilakukan secara kualitatif dengan menanyakan kepada petani atau masyarakat suatu daerah tentang kondisi iklim pada waktu terjadi ENSO. Apabila masyarakat/petani mengatakan bahwa pada tahun-tahun El-Nino (misalnya 1982, 1994 dan 1997) tersebut terjadi kemarau panjang yang menyimpang dari kondisi normal, ada indikasi bahwa daerah tersebut peka terhadap kejadian ENSO. Maka langkah selanjutnya ialah melakukan evaluasi terhadap data hujan yang ada di daerah tersebut.

Boer (2002a) menyajikan dua cara untuk mengevaluasi tingkat kerawanan/kepekaan daerah tersebut terhadap kejadian ENSO. Cara pertama ialah dengan melihat kondisi hujan menurut fase SOI (Indek Osilasi Selatan). Indek Osilasi Selatan merupakan indek yang menggambarkan perbedaan tekanan udara dekat permukaan laut di kawasan Tahiti (PTahiti) dan Darwin (PDarwin). Adapun rumusnya ialah:

Adakalanya faktor pengali 10 dalam persamaan di atas tidak digunakan. Biro Meteorologi Australia menggunakan rumus di atas dalam menghitung SOI. Selanjutnya nilai SOI dikelompokkan menjadi 5 fase yaitu (Stone et al., 1996):

1. Fase 1: konstan negatif (Constantly Negative)

2. Fase 2: konstan positive (Constantly Positive)

3. Fase 3: menurun cepat (Rapidly falling)

4. Fase 4: meningkat cepat (Rapidly rising)

5. Fase 5: mendekati nol (Near Zero)







gambar. Fase SOI



Kondisi El-Nino biasanya digambarkan oleh fase konstan negatif dan fase menurun cepat (Fase 1+3), sedangkan La-Nina oleh fase konstant positif dan fase meningkat cepat (Fase 2+4), dan kondisi normal oleh fase mendekati nol (Fase 5). Untuk menentukan apakah data SOI pada suatu bulan tertentu itu memiliki fase 1, 2, 3, 4 atau 5 ditentukan berdasarkan nilai perbedaan antara nilai SOI pada bulan tersebut (M2) dengan nilai SOI pada bulan sebelumnya (M1). Apabila nilai perbedaan M2-M1 jatuh pada kolom rapidly rising berarti bulan tersebut dikategorikan fase 4 (Gambar 4). Selanjutnya disusun peluang terlampaui tingkat hujan tertentu pada ke lima fase tersebut. Apabila terlihat perbedaan yang jelas antara grafik peluang pada kondisi El-Nino (fase 1+3), La-Nina (fase 2+4) dan normal (fase 5), berarti wilayah tersebut peka terhadap fenomena ENSO. Sebagai contoh, grafik garis pada Gambar 5 menunjukkan bahwa peluang untuk mendapatkan hujan paling mendekati normal (lebih besar dari nol) pada tahun El-Nino kurang dari 30% sedangkan pada tahun normal dan La-Nina lebih dari 60%. Jadi dengan demikian peluang untuk mendapatkan hujan di bawah normal (nilai anomali negatif) pada tahun El-Nino cukup besar yaitu lebih dari 70%. Apabila grafik ini dapat disusun untuk semua stasiun hujan, maka secara spasial akan dapat dilihat daerah mana yang sensitive dan mana yang kurang sensitive. Semakin mendekat ke tiga garis grafik tersebut, semakin kurang sensitif daerah tersebut terhadap kejadian ENSO, karena pada kondisi tersebut artinya peluang untuk mendapatkan tingkat anomali hujan tertentu antara tahun normal, El-Nino dan La-Nina tidak berbeda.

Cara kedua ialah dengan memplotkan data anomali hujan dengan indeks ENSO, misalkan data anomaly suhu muka laut di kawasan pasifik dengan data anomaly hujan musim kemarau seperti yang terlihat pada Gambar 6. Dari hasil analisis apabila slope persamaan secara statistik besar dari nilai 0, artinya anomali hujan bulanan di wilayah tersebut berkorelasi nyata dengan anomali suhu muka laut. Semakin besar nilai anomali suhu muka laut (semakin positif atau terjadi El-Nino), data anomaly hujan semakin negatif. Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa apabila data anomaly suhu muka laut +2, maka data anomaly hujan sekitar –40 mm. Artinya apabila terjadi El-Nino dan anomaly suhu muka laut di kawasan laut pacific (daerah ENSO 3.4) sekitar +2oC, maka curah hujan musim kemarau diperkirakan akan turun 40 mm di bawah normal.

Untuk menterjemahkan hasil analisis ke dalam peta, maka perlu dilakukan analisis tersebut terhadap semua stasiun hujan yang ada di wilayah atau daerah yang akan dipelajari. Misalkan ada 10 stasiun di wilayah tersebut. Semakin banyak stasiun dalam daerah tersebut memiliki nilai slope negatif, maka berarti pengaruh ENSO pada daerah tesebut semakin kuat, demikian pula sebaliknya. Bila semakin sedikit jumlah stasiun yang memiliki slope negatif, berarti pengaruh ENSO di wilayah tersebut lemah (Gambar 7). Cara pemetaan yang lain ialah membuat garis isoline berdasarkan pada nilai slope dari persamaan hubungan antara anomali curah hujan bulanan (ACHBK) dan anomaly suhu muka laut (ASML) pada Nino3.4. Peta ini akan memperlihatkan sebaran wilayah dan perkiraan besar anomali hujan untuk setiap perubahan satu derajat anomali suhu muka laut.







Hubungan anomali curah hujan bulanan musim Kemarau di Flores, NTT dengan anomali suhu muka laut di kawasan pasifik (Nino 3.4; Boer et al., 1999)







Pendekatan Hidrologis

Data hidrologi yang dimonitor di Indonesia diantaranya data debit sungai maximum, minimum, dan data tinggi muka air waduk atau dam. Dengan pendekatan yang sama seperti pendekatan meteorologis, peta penyebaran sungai dengan debit minimum yang berpotensi untuk mengarah kepada kejadian kekeringan atau debit maksimum yang berpotensi untuk mengarah kepada kejadian banjir dapat disusun. Berdasarkan data debit minimum dan maksimum dari 52 sungai yang tersebar di seluruh Indonesia mulai dari Sabang sampai ke Merouke, terlihat bahwa jumlah sungai yang debit minimumnya berpotensi untuk menimbulkan masalah kekeringan meningkat demikian juga halnya jumlah sungai yang debit maksimumnya berpotensi menimbulkan masalah banjir (Gambar 8). Gambar 8 juga menunjukkan bahwa jumlah sungai dengan debit minimum berpotensi menimbulkan kekeringan dan debit maksimum yang berpotensi menimbulkan banjir meningkat tajam pada tahun El-Nino dan La-Nina, khususnya untuk El-Nino (1994, dan 1997) dan La-Nina (1995 dan 1998) yang kejadiannya berlangsung setelah tahun 1990-an. Kondisi ini menindikasikan bahwa kondisi daerah aliran sungai di wilayah Indonesia setelah tahun 1990an banyak yang sudah mengalami degradasi sehingga adanya penyimpangan iklim dalam bentuk penurunan atau peningkatan hujan jauh dari normal akan langsung menimbulkan penurunan atau peningkatan yang tajam dari debit minimum atau debit maksimum



Pendekatan Agronomist

Pendekatan ini melihat bagaimana pengaruh hubungan fenomena ENSO dengan keaadaan agronomi. misalnya tingkat serangan hama dll



Banyak teknik lain yang dapat digunakan dalam menilai tingkat kerawanan diantaranya penyusunan peta tingkat kerawanan terhadap kekeringan berdasarkan kejadian deret hari kering (data hari tidak hujan yang terjadi secara berturut-turut; Boer dan Las, 1997), neraca air atau lengas tanah (e.g. Turyanti, 1995; Suharsono et al., 1995; Setiawan, 2000), atau penggunaan teknologi satelit (Kushardono et al., 1999).

sumber: Makalah Penyimpangan Iklim, Rizaldi Boer