Gresik United In Future, Good Suggestion for You


Diambil dari kolom ‘Bungklang Bungkling’, ‘Kropak’, di harian Bali Post,
Minggu, 1 Februari, 2008, oleh I Wayan Juniartha

Diterjemahkan oleh Putu Semiada





LONTAR

Di zaman pariwisata ini, dimana kita bisa menemukan lontar-lontar yang keramat?

Kita hanya bisa menemukan lontar-lontar tersebut di museum-museum luar negeri. Masalahnya kalau kita taruh di museum dalam negeri, maka pasti sudah lapuk, berceceran tidak ada yang peduli. Sebab mereka yang masih miskin sibuk mencari sesuap nasi, yang belum kaya sibuk mempersiapkan diri jadi caleg, yang sudah kaya sibuk mencari akal bagaimana caranya menguasai mereka yang miskin. Tidak ada yang sempat mengurus lontar. Jangankan mengurus lontar, berbicara bahasa Bali yang benar saja tidak ada yang beres. Kebanyakan mulut mereka memakai gaya yang di sinetron sampai berbuih-buih; bahasa Inggris bukan, Indonesia juga bukan.

Begitu pula kalau ditaruh di museum-museum dalam negeri, bisa-bisa satu persatu hilang karena kebiasaan orang Bali adalah mereka meminjam tapi malas mengembalikan, apakah mereka itu yang belajar ilmu yang baik maupun yang jahat; semua sama saja.

Ada juga yang belajar lontar untuk mencapai moksa (bersatu dengan Tuhan). Padahal mereka tahu hal ini sering menimbulkan perselisihan. Kalau misalnya ada saudara yang hilang dan mayatnya tidak ditemukan, pihak keluarga akan minta bantuan polisi, sambil menunggu dengan hati berdebar-debar, mereka takut kalau-kalau saudaranya itu menjadi korban mutilasi dan mayatnya dibuang ke sana kemari. Jika mayatnya tidak ditemukan, maka akan dibuatkan upacara pengabenan (kremasi) yang megah. Jadinya tidak jadi moksha—yang sudah ‘Acyntya’ (tidak berwujud), jadi turun derajatnya lagi menjadi Bhatara Yang Guru yang biasa-biasa saja.

Ada juga yang belajar lontar karena ingin menjadi orang sakti. Ada yang karena ingin beralih rupa menjadi garuda, supaya bisa terbang, jadi rangda supaya bisa menakuti orang, dan juga jadi monyet. Ada juga yang belajar lontar agar bisa meracuni orang dan guna-guna.

Zaman yang mewah saat ini—dimana supermarket ada dimana-mana, saluran televisi selusin, kasur spring bed yang nyaman, sinetron dari pagi hingga pagi lagi, cari kredit juga gampang—kok masih ada saja orang yang bangun tengah malam dan membawa ‘sanggah cucuk’ (sarana untuk mengundang kekuatan hitam) ke ‘setra’ (kuburan) dan juga ‘teba’ (semak-semak), mengurai rambut dan berjinjit-jinjit sambil teriak-teriak.

Sepertinya mereka belajar semua itu hanya untuk menyakiti saudara sendiri (ilmu leyak hanya mempan untuk orang Bali sendiri), tapi untuk penjajah Belanda, Jepang, Amerika dan investor Cina sama sekali tidak mempan. Jadi mereka yang belajar ‘leyak’ memang benar-benar memang tidak punya kerjaan.

Dewasa ini belajar leyak sama saja dengan buang-buang duit, badan sering masuk angin, rambut panjang penuh kutu (karena mesti sering ada di semak-semak), dan tentu saja bisa terkena rematik karena mesti sering berjinjit.

Bagi mereka yang belajar ilmu pengobatan tradisional sama saja. Sekalipun kita belajar matian-matian tetap saja tidak ada gunanya. Sebab sebagian besar apa yang disebutkan dalam lontar sudah punah, karena sudah jadi bangunan rumah, hotel, rumput Jepang, Adenium dan tanaman gelombang cinta. Tanamannya saja sudah tidak adal, apalagi daunnya. Akibatnya kita hanya membicarakan sesuatu yang tidak ada.

Yang belajar mantra juga tidak akan mendapat apa-apa. Di Bali sekarang sudah terlalu banyak menara (seluler), terlalu banyak sinyal hp, terlalu banyak diskotik dan café yang buka sampai pagi, sehingga vibrasi dan ‘sinyal’ kesucian Ida Bhetara (dewa) jadi susah menembus atmosfir. Jangankan dapat pawisik dari Yang Kuasa, ‘petunjuk’ dari butha kala saja susah didapat. Akhirnya cuma suara hati sendiri yang dipakai patokan, amarah sendiri kadang-kadang sebagai landasan.

Orang Bali sekarang lebih banyak takutnya—takut sama investor, takut sama leyak, takut sama balian (dukun), takut sama butha kala, takut sama dewa—sehingga mereka sibuk sendiri belajar 'ketuhanan' dari sesuatu yang sudah berumur tua, dari lontar yang sama sekali tidak dikenal sebelumnya, yang sebenarnya tidak pernah benar-benar dibaca.

Lontar yang sudah lapuk dimakan zaman, rusak karena rayap, dan sekarang dibaca setengah-setengah, jadi kepintarannya pun nanti serba tanggung.

Jadi kalau lontar saja nasibnya seperti itu, jadi janganlah kita bicara masalah siapa yang nanti menelitinya maupun yang akan menuliskannya kembali di masa datang