Diambil dari kolom ‘Bungklang Bungkling’, ‘Bikul Rusuh’, di harian Bali Post, Minggu, 17 Mei, 2009,
oleh I Wayan Juniartha
Diterjemahkan oleh Putu Semiada
TIKUS
Orang-orang tua kami dahulu melarang kami mengumpat tikus. Mereka bilang jika kita mengumpat tikus, maka mereka akan semakin menjadi rusuh. Jadi kami diminta bersikap baik kepada tikus. Bahkan memanggil dengan kata ‘bikul’ (tikus) saja tidak boleh. Kami mesti memanggil tikus dengan sebutan ‘Jero Ketut’.
“Jero Ketut, silahkan pergi, tolong jangan diam di sini,” Seperti itulah kami mesti berkata kepada mereka, jika misalnya kami mendapati seekor tikus sedang makan ayam panggang yang hendak kami pakai untuk sesajen.
Lain halnya dengan ayam. Jika kami melihat mereka mengorek-ngorek ‘segehan’ (sesaji) yang belum dihaturkan, pasti kami langsung mengusirnya, ‘hush, hush’ sambil melemparkan batu kearahnya. Apalagi kucing, bisa bertambah buruk saja nasibnya. Tanpa ‘hush, hush’ segala, langsung kucingnya dilempari batu. Tidak ada yang berbicara dengan halus dengan ayam. Tidak ada yang akan menyapa kucing: “Tolong jangan dimakan sesajinya.”
Kalau Jero Ketut? Orang saja jarang dipanggil dengan pangilan tersebut. Dengan bendesa (pemuka desa) kami malah cukup dengan senyum dan mengangkat alis saja. Kalau tukang kredit yang datang cukup mendelik saja. Jarang sekali kami menyapa sambil mencakupkan tangan sekarang kalau berpapasan dengan bendesa: “Jero Bendesa, mau kemana?” atau “bapak tukang kredit, dari tadi saya tunggu-tunggu. Saya sudah tidak sabar untuk bayar cicilan.” Sepertinya ini sesuatu yang tidak mungkin.
Akan tetapi kalau tikus yang membuat masalah, misalnya ribut diatas plafon rumah, sampai-sampai membuat kita menghentikan aktivitas, mengobrak-abrik peralatan dapur sambil melarikan ikan pindang yang ada di dapur yang sedianya untuk sarapan, terus merusak padi yang di sawah sehingga membuat kerja keras petani yang berbulan-bulan menjadi sia-sia; maka tidak ada yang berani marah. Malah langsung mencakupkan tangan dan minta agar si tikus cepat-cepat pergi.
Kalaupun sampai menimbulkan amarah yang amat sangat bagi petani, maka mereka malah akan mengadakan upacara yang disebut ‘nangluk mrana’, dengan menghaturkan sesaji kepada buta kala yang menjadi pimpinan tikus. Sepertinya yang menjadi komandan tersebut bernama Anak Agung Ketut karena kedudukannya lebih tinggi dari Jero. Jika ada tikus yang sampai dibunuh, maka cepat-cepat warga akan membuat upacara pengabenan, sekalipun tidak ada yang tahu dimana nantinya roh tikus bersangkutan `berkedudukan.
Hanya tikus saja yang memperoleh kedudukan tinggi. Sedangkan hama yang lain, belalang, burung, tumro, tidak pernah mendapat gelar Jero, dan belum pernah dibuatkan pengabenan.
Mungkin karena tikus tersebut adalah hama paling besar dan paling ganas. Sehingga warga menjadi sangat ketakutan. Jika satu tikus disakiti mungkin dia akan datang dengan ratusan temannya. Jika ratusan tikus merusak satu petak sawah, maka habislah padinya. Jadinya para petani tidak berani kasar sama tikus dan selalu hormat.
Mungkin itu juga yang menyebabkan kita tidak ada yang berani dengan para tikus berambut hitam yang bertahun-tahun selalu menggerogoti APBD, melarikan uang negara dan menghancurkan sawah-sawah rakyat.
Namun jika ‘hama-hama kecil’ yang lainnya mencuri ayam, melarikan motor, mencopet, maka cepat sekali mereka dibereskan. Kalau tidak dikeroyok maka mereka biasanya langsung dikirim ke sel tahanan.
Sebaliknya jika ‘tikus’ yang melarikan uang negara milyaran, yang mengeksploitasi hutan, danau, tidak ada yang berani mengroyok maupun mengirim ke sel tahanan. Jangankan mengeroyok, mengkritik saja tidak ada yang berani. Takut dituduh dengan pasal pencemaran nama baik, takut dikira menghina pejabat.
Jadi jika tikus di sawah mendapat julukan ‘Jero Ketut’ sedangkan ‘tikus’ berambut hitam dipanggil dengan sebutan ‘Jero Bapak’.