Diambil dari kolom ‘Bungklang Bungkling’, ‘Adan’, di harian Bali Post, Minggu, 8 Maret, 2008,
oleh I Wayan Juniartha
Diterjemahkan oleh Putu Semiada
NAMA
Apa perbedaan nama antara jaman dahulu dengan nama jaman sekarang?
“Dahulu nama hanya diperlukan kalau kita memanggil seseorang. Apalagi kalau orang bersangkutan lahir dari keluarga miskin, pasti tidak akan berani memakai nama yang aneh-aneh,” kata I Made Katiwawalan.
Karena itulah orang Bali jaman dahulu tidak ada yang memakai nama yang aneh-aneh. Inspirasi nama berdasarkan apa yang dilihat saja. Kalau bukan I Dagdag (kol banda) namanya biasanya I Kelor. Yang perempuan biasanya diambil dari nama bunga yang ada di halaman rumah, seperti Jepun (kamboja) atau sandat. Kalau yang sedikit cerewet diberi nama, Mongkeg. Tidak ada yang namanya diambil dari nama bunga mancanegara. Jangankan punya nama seperti itu, makan nasi dengan lauk ayam saja mereka jarang merasakannya.
Mengingat jaman dagdag sekarang sudah jarang, dan cempaka dan sandat hanya ditemukan di pasar saja, sehingga nama anak-anak Bali jaman sekarang sudah lain. Karena ibunya sering nonton sinetron dan terkesima mendengar gosip, sehingga banyak anak-anak Bali yang bernama Marvel, Marcel, Cinta, Laura. Karena bapaknya terkesima menonton Liga Inggris, maka anaknya bernama Cristiano, Ronaldo. Karena heran dengan dunia barat maka nama anaknya menjadi David, Patrick, Obama dan nama seperti I Wayan dan I Made jadi hilang.
“Dahulu nama hanya dipakai untuk mengingat saja. Kapan dan dimana anak yang bersangkutan lahir, sehingga itulah nama yang dipakai.”
Oleh sebab itu maka ada yang namanya Gejer, Linuh (gempa), Gerudug (kilat), Carik (sawah), Gunung, Kantor bahkan Gestok. Kalau jaman sekarang, sebagian besar lahir di rumah sakit dan puskesmas yang lebih nyaman dan aman. Namun siapa yang mau namanya menjadi I Nyoman Puskesmas atau I Ketut Surya Husada. Siapa pula yang mau memakai nama I Kadek Visit Indonesia Year ataupun I Komang Pemilu?
Kalau dulu yang namanya panjang-panjang hanyalah mereka yang berasal dari kasta yang tinggi. Karena mereka banyak mempunyai tanah dan ‘panjak’ (abdi).
“Namun merekapun tidak sembarangan memakai nama. Kalau tidak benar-benar berpengaruh maka mereka tidak berani memakai nama yang panjang. Jika sampai berani memakai nama seperti Bima Sakti Blambangan, pasti karena yang bersangkutan belum pernah kalah berperang. Kalau bukan benar-benar raja utama, pasti namanya menjadi Ida Cokorda Mantuk Ring Rana (raja yang sudah meninggal).
Kalau sekarang, banyak yang namanya ada nama Satria, Sakti, Wira, Nata, A. A. (Anak Agung), dari Anak Agung sampai Anak Ajum (orang yang nyleneh). Banyak juga yang bernama Cokorda.
“Ada juga yang tadinya tanpa gelar, terus namanya tiba-tiba berisi Gusti, dari Gusti menjadi Anak Agung, sudah Anak Agung ditambah Shri lagi, sehingga namanya panjang sekali, dan susah dibedakan apakah yang memakai nama itu manusia atau betara (dewa),” sela Ketut Patut.
Semestinya kalau belum pernah berjuang demi negara, janganlah coba-coba memakai nama para satria. Kalau belum merasa diri suci, janganlah berani-berani memakai nama brahmana. Kalau belum pernah dihormati sama rakyat, jangan pernah menganggap diri sebagai penguasa.
Jadi apa bedanya nama jaman sekarang dengan nama jaman dahulu?
Nama jaman dahulu mencerminkan orang Bali masih polos dan lugu.
Sedangkan nama jaman sekarang mencerminkan manusia Bali yang berani, pura-pura, arogan, dan tidak tahu diri.