Gresik United In Future, Good Suggestion for You

Tak Ada Pernikahan


DARI hasil pengecekan Bali Post ke Banjar Pupuan Sawah, Kamis (16/10) kemarin, ternyata berita pernikahan sesama jenis ternyata tidak benar. Sejumlah aparat di banjar tersebut menyatakan bahwa upacara itu hanya upacara pameras, nyolongin, Suddi Wedani dan mapendes (potong gigi).

Dengan demikian, berita yang dikutip dari kantor berita Reuters tersebut ternyata tidak benar. Bahkan, kontributor foto Reuters Murdani Usman yang juga datang ke Pupuan Sawah, Kamis kemarin, langsung menyampaikan permohonan maaf atas kekeliruan informasi tersebut.

Seperti diketahui sejumlah media besar, baik terbitan di Bali maupun di Jawa, memuat berita tersebut. Semuanya juga mengutif dari kantor berita yang sama, Reuters.

Sementara itu, rumah I Wayan Budiada dan Ni Wayan Suwarni, Banjar Pupuan Sawah, Selemadeg, Kamis kemarin sontak ramai dikunjungi tamu. Tamu itu di antaranya Camat Selemadeg I Gede Susila, Danramil E. Rajagukguk disertai Muspika Selemadeg. Hadir pula Ketua PHDI Selemadeg I Dewa Putu Sukadana, Klian Dinas Pupuan Sawah I Made Sukadana serta keluarga besar I Wayan Budiada dan sejumlah krama adat. Sejumlah wartawan media cetak lokal dan nasional juga berkumpul untuk meminta klarifikasi terkait pemberitaan kantor berita Reuters yang dikutif Bali Post, Kamis kemarin.

Ketua PHDI Selemadeg Dewa Sukadana yang mengaku hadir pada upacara Rabu (15/10) lalu, menyatakan tidak ada upacara pernikahan pada acara tersebut. 'Memang kami mengeluarkan surat suddhi wadani, tetapi tidak terkait dengan adanya upacara pernikahan,' jelasnya.

Mengenai proses masuk Hindu, katanya, siapa pun yang berkeinginan masuk Hindu dengan tanpa paksaan, wajib mendapat pelayanan suddi wadani. 'Kami selaku Ketua PHDI hadir dalam prosesi tersebut. Tidak ada upacara pernikahan. Saya sendiri yang terkait dengan upacara suddhi wadani keduanya,' terang Dewa Sukadana.

Pihak keluarga besar Wayan Budiasa menjelaskan, upacara yang berlangsung sesuai dengan surat undangan yang telah beredar yakni berupa upacara manusa yadnya mapandes (potong gigi). Tiga orang yang mapandes yakni Ni Putu Trisnayanti (16) anak Budiada-Suwarni, Christianus A. Huijbregts (67) dan Hendrikus Johannes Deijkers (67). Baik Christianus maupun Hendrikus melakukan upacara maperas (diakui anak secara adat Bali), suddhi wadani atau masuk agama Hindu dari sebelumnya memeluk Kristen, pacolongan (upacara 42 hari setelah lahir), tiga bulanan, dan mapandes (potong gigi). Para pejabat dan tokoh-tokoh masyarakat di Selemadeg diundang untuk turut menyaksikan upacara tersebut. Keduanya di-peras (diakui anak secara adat Bali) oleh Ni Made Rasti (70), ibu dari Budiada, dengan nama baru Made Hendrik dan Nyoman Kris.

Mangku I Made Arnawa mamuput upacara tersebut. Sementara seluruh keperluan banten dibeli dari tukang banten Ni Made Menri. Banten yang dibeli, kata Menri, berupa banten pameras, suddhi wadani, pacolongan, tiga bulanan dan potong gigi. 'Sama sekali tidak ada banten pawiwahan atau pernikahan,' jelasnya.

Demikian pula pemangku yang menangani upacara itu mengatakan tidak ada upacara pernikahan. 'Kami keluarga besar tentu saja tidak mengizinkan adanya pernikahan sejenis yang dilarang ajaran agama. Kami menerima Hendrik dan Kris karena niat baiknya sejak beberapa tahun lalu untuk menjadi pemeluk Hindu dan menjadi bagian dari keluarga besar kami. Tidak ada pernikahan dalam acara Rabu lalu,' terangnya yang dibenarkan keluarga besar lainnya.

Sementara itu, Hendrik dan Kris mengaku memang sejak belasan tahun lalu ingin memeluk Hindu. Ketika kuliah, Kris bahkan melakukan penelitian dan menyusun skripsi tentang Hindu di negaranya, Belanda. Demikian pula Hendrik yang merupakan kelahiran Cilacap, mengaku secara teratur membaca tentang Hindu. 'Kami memang tertarik dengan ajaran Hindu sejak belasan tahun lalu. Kami ingin menghabiskan hari tua bersama agama Hindu yang kami anut sekarang. Kami yakin bisa menjadi pemeluk Hindu yang baik dan kami sangat senang telah menjadi Hindu,' ujar Hendrik dengan bahasa Indonesia lancar.

Mengenai hubungan keduanya, Hendrik dan Kris mengaku sebagai saudara angkat. Mengapa sampai ke Pupuan Sawah, bermula dari perkenalannya dengan Suwarni, wanita asal Sronggo Pondok Kerambitan, 12 tahun lalu. Suwarni sempat bekerja di Maldives dan Turki bidang spa. Sejak lama keduanya telah dianggap sebagai saudara oleh Suwarni. Bahkan hubungan pertemanan itu terus berlanjut ketika dirinya menikah dengan Budiada, warga Pupuan Sawah. Seingat Suwarni, baik Kris maupun Hendrik adalah pensiunan pegawai pemerintahan di Belanda. Mereka telah menyampaikan niatnya masuk Hindu sejak lebih dari tiga tahun lalu. Karena keduanya tampak serius, untuk masuk Hindu dan menjadi bagian dari keluarga besar mereka, beberapa waktu lalu diadakan rapat keluarga hingga ke lingkungan pemaksan untuk membicarakan rencana keduanya masuk ke dalam keluarga besar mereka. Atas persetujuan seluruh anggota keluarga, akhirnya jadilah acara seperti kemarin (Rabu lalu).

'Tidak ada pernikahan. Kami semua kaget dengan pemberitaan itu,' terangnya

Dikutip dari harian Bali Post, 17 Oktober 2008