Gresik United In Future, Good Suggestion for You




Gereja Atawatung di Desa Lamagute, Kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata, memang sangat menarik. Terletak di pinggir laut, yang dipenuhi bebatuan, gereja Katolik ini punya arsitektur menarik.

Tinggi menjulang, sangat indah. Gereja Atawatung ini tak kalah indah dengan gereja-gereja di Pulau Jawa, termasuk gereja-gereja peninggalan Belanda. Jika ada semacam perlombaan di Lembata, saya bisa pastikan Gereja Atawatung termasuk salah satu gereja terbaik.

“Gereja ini kami bangun dengan swadaya masyarakat. Juga ada sedikit sumbangan dari donatur,” kata Daniel Demong Benikakan, arsitek utama Gereja Stasi Atawatung, yang juga penduduk asli Desa Lamagute, kepada saya.

Ama Daniel ini termasuk keluarga dekat saya. Istrinya, Margareta Hurek, tak lain adik kandung bapak saya. Bersama Ama Kalis Perohon, tukang asal Mawa, desa tetangga, Daniel Benikakan menggarap Gereja Atawatung dengan asyik. Santai, serius, dan artistik.

Penggarapan dilakukan dengan cara manual. Tak ada alat-alat berat, alat bantu untuk menggarap menara yang menjulang macam di kota-kota besar. Semuanya digarap ala tukang-tukang kampung tempo doeloe. Tapi hasilnya, seperti saya saksikan sendiri, sungguh luar biasa. Dari luar, dalam... semuanya istimewa.

“Gereja Atawatung itu paling bagus di seluruh Ile Ape dan Ile Ape Timur,” puji Ama Niko Hurek, yang tak lain bapak saya.

Pujian ini pun saya dengar dari banyak orang Ile Ape yang berada di Kupang. Dan, itu sebabnya, saya merasa perlu jalan kaki dari Bungamuda ke Atawatung [sekitar 2,5 kilometer] untuk memotret Gereja Atawatung sekaligus menemui Ama Daniel, sang arsitek ulung asal Atawatung.

Gereja Atawatung, bagi saya pribadi, merupakan gereja paling berkesan dalam hidup saya. Di masa kecil, kami yang tinggal di Mawa (desa Napasabok), tetangga Atawatung, harus beribadah di situ. Perayaan ekaristi, ibadat sabda tanpa imam. Saya dipermandikan, sambut baru, mempelajari berbagai tradisi Katolik di Atawatung. Saya jadi hafal lagu-lagu gregorian versi Syukur Kepada Bapa juga di Gereja Atawatung ini.

Pemberkatan nikah alias sakramen pernikahan penduduk Mawa diterimakan di Gereja Atawatung. Kedua mempelai, para saksi, keluarga, umat... harus jalan kaki ramai-ramai ke Atawatung. Pengalaman yang tak pernah hilang dari ingatan saya meskipun saat ini penduduk Mawa sudah punya gereja sendiri, Gereja Stasi Mawa yang mungil namun selalu semarak.

Nah, Gereja Atawatung yang cantik ini merupakan hasil renovasi total. Bangunan lama dibongkar habis. Kemudian di lokasi yang sama dibangun gereja baru dengan model konstruksi yang mirip, tapi lebih modern. Ini agar nuansa gereja lama yang dirintis misionaris-misionaris SVD macam Pater Lorentz Hambach SVD, Pater Lambertus Paji Seran SVD, Pater Geurtz SVD, Pater Willem van der Leur SVD, dan beberapa pater lama tidak hilang begitu saja.

Saya yang lama merantau pun tidak pangling dengan Gereja Atawatung. Sayang, saya tidak sempat ikut misa di dalamnya karena di Minggu pagi itu saya sudah misa di Gereja Mawa. Seharusnya saya ikut misa di Gereja Atawatung sekalian bernostalgia dengan masa-masa SD dulu.

Masa ketika lagu KEPADAMU BUNDA PERAWAN menjadi lagu paling favorit penduduk Atawatung dan Mawa. Masa ketika suara emas Kak Fransiska Ola, solis favorit dari Atawatung, sangat digandrungi umat di sana. Masa ketika Pater Geurtz selalu meminta umat untuk antre di depan Gereja Atawatung dan mengumpulkan batu-batu kecil (kerikil).

“Sambut taruh batu! Sambut taruh batu!” kata Pater Geurtz.

Wow, saya menyesal banget!