Gresik United In Future, Good Suggestion for You

Diambil dari kolom ‘Bungklang Bungkling’, ‘Cetik’, di harian Bali Post,

Minggu, 29 Maret, 2009, oleh I Wayan Juniartha
Diterjemahkan oleh Putu Semiada





Racun

Orang Bali dari dulu sudah biasa bermain-main dengan racun. Kalau tetangganya kaya, lalu berusaha diracun agar lumpuh tidak berdaya, sehingga tidak kaya lagi dan kembali miskin sehingga jadi sama-sama miskin.

Jadi tidak perlu tahu bagaimana caranya tetangga itu bisa kaya, dan tidak perlu meniru bagaimana mereka bekerja. Jadi tindakan kurang terpuji itu bukan karena ingin sukses, tapi supaya tetangganya itu menjadi melarat. Alasannya membeli racun bukannya karena ingin kaya, tapi supaya sama-sama menderita. Kalau memang miskin, supaya sama-sama miskin. Sedangkan kalau kaya, mesti cuma diri sendiri yang kaya.

“Sama halnya dengan para petani kita. Mereka tidak mencari tahu, kenapa jumlah tikus semakin banyak, kenapa belalang semakin banyak datang merusak padi, mereka langsung saja membasminya pakai racun, insektisida dan pestisida,” kata I Made Pupuk Tain Sampi.

I Made adalah aktivis pertanian organik, pertanian yang tidak memakai bahan-bahan kimia buatan pabrik. Dia lebih suka memakai bahan-bahan buatan alam. Dia sekarang sibuk mengajak teman-temannya berhenti menggunakan insektisida dan pestisida.

“Mereka tidak tahu kalau terus memakai racun buatan pabrik tersebut, lama-kelamaan tanaman juga kena racun, sawah dan sungai juga terkena racun, akhirnya kita makan padi yang beracun, air yang beracun,” sambungnya lagi.

Sudah terbukti bahwa tikus, belalang, wereng dan tumro jauh lebih sakti dari para dukun amatiran. Artinya, kalau manusia yang kena racun, sang dukun akan matian-matian mengucapkan mantra agar bisa orangnya sembuh. Sedangkan kalau belalang terus-terusan kena racun yang sama, maka lama lama mereka akan kebal. Dan mereka tidak mesti bikin sesaji, tidak perlu nunggu pawisik, jadi sudah langsung kebal tujuh turunan.

“Wah, kalau benar seperti itu, sepertinya kita rugi kalau terus mengandalkan pestisida dan inteksida. Paling bagus kita serahkan pada niskala, yang memang benar-benar sakti, bikinkan saja sesaji besar-besaran, serta minta Ida Cokorda datang berkunjung ke sawah. Pasti semua hama pada mati,” I Ketut Tawur Kabur menyela.

I Made tertawa terpingkal-pingkal. Bukan karena berani sama dewa dan bukan juga karena sangsi sama niskala.

“Kenapa kamu suka sekali memberi kerjaan yang bukan-bukan sama para dewa. Kamu kira gampang jadi dewa di Bali. Karena hampir tiap hari ada saja yang datang mohon doa restu supaya terpilih menjadi anggota dewan. Para dewa kan tidak punya KTP, tidak punya hak pilih, tidak tau urusan nyoblos maupun nyontreng, malah di suruh mengurus Pemilu. Dan sekarang kamu mau para dewa supaya menjaga sawah, membasmi tikus dan mengusir belalang,” lanjut Made.

Semua yang hadir di sana pada tertawa. Mereka tertawa bukan karena karena ingin merendahkan para Cokorda, dan bukan juga karena mau bikin onar.

“Kalau Cokorda nya kamu banyak hutangnya, berani memakai uangnya tapi tidak mau mengembalikan, sampai-sampai urusannya ke polisi. Kalau seperti itu bagaimana dia bisa mengusir tikusnya. Jangan-jangan malah beliau yang menjelma menjadi tikus?” I wayan Mauk Bogbog menambahkan.

Mereka yang ada di sana semakin tertawa terpingkal-pingkal.

“Mulai sekarang hati-hatilah memakai racun buatan pabrik, supaya tanah tidak menjadi rusak, tanaman menjadi sakit, dan manusianya keracunan,” kata Made lebih lanjut.

Kalau masalah ‘nangluk merana, niskala, Ida Betara, Ida Cokorda Bon Bali (kemana-mana kerjanya ngebon), sebaiknya gak usah diperpanjang. Kalau hal-hal seperti itu diperpanjang, pasti kita akan cepat kena racun.